Sirah

Terapi Rasulullah saw Mengatasi Fitnah (Pelajaran dari Haditsul Ifki)

haditsul ifkiOleh: Hepi Andi Bastoni, MA
            Madinah gempar. Fitnah keji terhadap keluarga Nabi saw merebak. Aisyah, istri Nabi saw dituduh berselingkuh dengan Shafwan bin Muaththal. Tuduhan itu seolah menemukan fakta: keduanya ditemukan berjalan berduaan sepulang dari perang Bani Musthaliq!
Lalu, apa yang dilakukan Nabi saw mengatasi fitnah ini? Lembaran sejarah mengajarkan kepada kita, bagaimana beliau memberantas fenomena ini sampai akarnya. Sebuah sikap yang sangat perlu diteladani oleh qiyadah dalam memberikan terapi atas peristiwa semacam ini.
Pertama, melakukan konfirmasi dan klarifikasi. Ini yang kita saksikan melalui beberapa pertanyaan yang diajukan Rasulullah saw, kepada  Zaid sebelum memutuskan kebenaran laporannya. Nabi saw sendiri melakukan hal itu. Qiyadah mana pun seharusnya melakukan klarifikasi sebelum mengeluarkan keputusan.
Jamaah yang tidak menghargai anggotanya takkan mendapatkan manfaat darinya di kala mengalami cobaan. Saat ini setelah era Rasulullah saw, kepada kita tidak diturunkan wahyu yang dapat mengabsahkan kejadian atau mementahkannya. Untuk itu, ada data-data dimana Islam telah menetapkan syarat-syaratnya, di antaranya adanya kesaksian  dan keadilan atau data-data yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan modern, berupa alat perekam atau foto yang merekam data-data pendukung, yang dapat membantu keluasan dan kebenaran penyidik.
Kedua, dalam menanggulangi merebaknya fitnah ini, Rasulullah saw pergi di waktu yang tidak biasanya sebagaimana yang dituturkan Ibnu Hisyam dalam Sirah, “Rasulullah saw pergi bersama beberapa orang shahabat pada siang itu hingga sore, dilanjutkan malam itu hingga pagi harinya, kemudian di hari berikutnya hingga mereka disengat matahari. Kemudian beliau berhenti di suatu tempat bersama para shahabat hingga mereka mengantuk dan tertidur. Rasulullah saw melakukan semua itu agar mereka dapat melupakan pembicaraan seputar kejadian sebelumnya.
Tahapan berikutnya adalah menyibukkan orang-orang dari membicarakan fitnah itu. Sebab, masyarakat yang tidak sibuk, biasanya tak ada yang mereka bicarakan selain fitnah dan gosip. Qiyadah yang bijak dapat mengisi waktu kosong para pemudanya dengan sesuatu yang produktif atau dengan latihan kecakapan yang sesuai bagi mereka atau jihad langsung melawan musuh dimana tenaga dan kekuatan mereka bisa manfaatkan, dan mengalihkan mereka dari kasak-kusuk dan berbagai pertanyaan. Atau menghindarkan mereka dari reaksi positif maupun negatif terhadap kebohongan semacam ini. Kalau hari ini, pergaulan umat Islam dipenuhi fitnah dan gosip, itu lantaran banyaknya pengangguran di kalangan kaum Muslimin. Kalau mereka sibuk, takkan terjadi fitnah, atau fitnah takkan menyebar pesat.
Ketiga, mengemukakan pendapat kepada orang-orang dekat. Beliau melakukan pembicaraan itu kepada anggota inti pasukan. Tidak kepada semua orang. Beliau melakukan terapi dengan penuh kebijakan. Jika hal ini dicerna secara baik oleh jamaah Islam, pasti ia dapat menghindari banyak fitnah. Hendaknya masalah ketakutan hanya tersebar di kalangan tertentu dan tidak kepada semua orang.
Berbeda dengan orang-orang munafik. Mereka biasa menyebarkan desas-desus dan menikmati rasa takut itu. Hal ini sebagaimana digambarkan Allah dengan firman-Nya, “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan  lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)…” (QS an-Nisa’ (4) : 83).

Pelajaran bagi Kaum Muslimin
Bagi kaum Muslimin, peristiwa ini mengangkat derajat mereka. Kisah ini menjadi ujian berat dan menyakitkan bagi Rasulullah saw, Aisyah, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ummu Ruman sang ibu, dan Shafwan bin Muaththal yang disaksikan Rasulullah saw sebagai seorang yang baik dan Allah telah memberi rezeki kepadanya kesyahidan di jalan-Nya sesudah itu.
Seorang Mukmin tentu akan merasa sakit dengan sakitnya Rasulullah saw. Seorang mukmin tidak dapat menahan dirinya dari tangisan, mungkin tidak tahu apakah ia menangisi Rasulullah saw yang dirusak kehormatannya padahal beliau sebaik-baik makhluk, atau Aisyah, wanita yang paling dicintai Rasulullah saw, dan tidaklah Allah memberikan rasa cinta kepadanya terhadap Rasul-Nya kecuali karena kemuliaan dan kehormatannya.
Bagaimana tidak, ia sebaik-baik keluarga Quraisy, keluarga yang seluruhnya beriman; ayahnya, kakeknya, dan saudara-saudaranya. Allah SWT Maha Mengetahui mengatakan setelah orang-orang beiman terombang-ambing dalam musibah dari peristiwa ini selama hampir lima puluh hari, “…..janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu,…” (QS an-Nur: 11).
Sekalipun di dalamnya ada kesulitan besar dan rasa menyakitkan namun ada sisi pelajaran dan pendidikan bagi umat yang jauh lebih baik dari itu semua. Sedangkan orang-orang yang dicoba dengan peristiwa ini, pahalanya di sisi Allah SWT tidak akan dizalimi sekecil apapun, “Tidaklah seorang hamba dizalimi lalu ia bersabar atas kezaliman itu maka Allah pasti menambah kemuliaan baginya.”[1]
Betapa Aisyah terangkat kemuliaannya saat pembuktian dirinya bersih dari segala tuduhan berasal dari al-Qur’an yang selalu dibaca hingga hari kiamat. Padahal klimaks dari harapan Aisyah adalah bilamana Rasulullah saw mendapatkan mimpi tentang kebersihan dirinya. Maka, siapakah yang masih bisa menuduhnya setelah Allah membersihkannya? Kalaupun ada yang masih menuduh Aisyah, berarti ia telah  mengingkari firman Allah.
Alangkah celakanya kaum Syiah dengan keyakinannya yang batil terkait tuduhan mereka kepada Aisyah dan kepada Abu Bakar. Peristiwa ini adalah fitnah yang justru makin menampakkan kemunafikan orang-orang munafiq dan keyakinan orang-orang beriman.
Orang yang mendesain fitnah ini, Allah janjikan dengan siksaan pedih di akhirat. Sementara orang-orang beriman yang menganggap remeh dengan menyebarkan berita bohong ini dan menyangkanya sebagai hal yang biasa, Allah didik mereka dengan penegakan hukum hadd atas mereka. Sehingga mereka menjadi ibrah bagi orang-orang beriman lainnya.
Betapa sering kejadian buruk dan cobaan karena anggapan remeh terhadap dosa kecil. Di antara hasil dari peristiwa ini adalah munculnya fitnah antara kaum Aus dan Khazraj hingga mereka nyaris saling bunuh. Barangkali aturan tentang diharamkannya menuduh dan hukumhadd-nya serta diharamkannya menyebarkan berita yang belum pasti selain peristiwa ini, tidak akan mendapatkan sambutan besar seperti sambutan datangnya ayat-ayat setelah bencana besar ini. Maka, peristiwa ini bisa berarti pendidikan rabbani bagi umat. Dengan demikian, akan menambah keimanan orang-orang beriman dan menampakkan kemunafikan orang-orang munafiq.
Dari peritiwa ini juga dipetik penjelasan bagaimana Allah memberi jalan keluar dan kebahagiaan setelah masa sulit dan ujian. Hingga ketika permasalahan sudah sampai di puncaknya, Allah memberikan sesuatu yang dapat menenangkan jiwa mereka dari wahyu kepada Rasulullah saw sehingga turun laksana gerimis di saat kekeringan dan kepayahan.
Imam az-Zamakhzyari mengatakan, makna “itu baik bagi mereka” adalah karena mereka memperoleh pahala yang besar sebab sebelumnya mereka mendapat cobaan dan bencana yang besar. Bahwa ayat yang turun sebanyak 18 (delapan belas) yang masing-masing mempunyai makna tersendiri, ini semua adalah penghormatan kepada Rasulullah saw dan sebagai hiburan bagi beliau, serta penyucian bagi Ummul Mukminin dan pembersihan bagi keluarganya, sekaligus sebagai peringatan bagi siapa saja yang membicarakannya atau mendengarnya. Serta peringatan kembali bagi semua yang mendengar dan membaca (ayat) hingga hari kiamat, di samping berbagai pelajaran agama, hukum-hukum dan etika yang harus diketahui oleh semuanya.[2]
Imam al-Qurthubi menambahkan, Imam Malik berkata, “Siapa saja yang menghujat Abu Bakar, ia layak mendapatkan hukuman. Siapa yang menghujat Umar, layak mendapat hukuman. Siapa saja yang menghujat Aisyah, maka ia dibunuh. Sebab Allah SWT berfirman,“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya. Jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS. an-Nur: 17).
Ibnul-Arabi menambahkan juga, para pengikut Madzhab Syafii mengatakan, “Siapa yang menghujat Aisyah, maka ia mendapatkan hukuman sebagaimana terhadap orang-orang beriman lainnya, dan bukan berarti “…jika kamu orang-orang yang beriman” tentang Aisyah karena perbuatan tersebut kufur. Namun, seperti yang disabdakan Nabi saw,  “Tidaklah seorang beriman ketika ia tidak menjamin keselamatan tetangganya dari keburukannya.”[3]
Terkait peristiwa ini, Allah menurunkan firmannya dalam surah an-Nuur ayat 11 sampai dengan 21.
Sebulan kemudian keraguan dan keguncangan itu hilang dari Madinah. Kedok kaum munafik pun tersingkap. Menurut Ibnu Ishaq, setelah peristiwa itu, apabila melakukan tindakan-tindakan baru, ia (Abdullah bin Ubay, gembong munafik) dicela oleh kaumnya sendiri.[4]
Selain hampir menyebabkan perang antar saudara, peristiwa ini telah membuat Shafwan bin Muaththal dan Hassan bin Tsabit terlibat perkelahian. Ibnu Ishaq menuturkan, begitu mendengar kabar tersebut, Shafwan mendatangi Hasan bin Tsabit dengan membawa pedang. Shafwan menghadang Hasan lalu memukulnya.
Ketika melihat hal itu, Tsabit bin Qais bin Syammas meloncat ke arah Shafwan. Ia segera mengikat kedua tangannya ke leher dan membawanya ke Bani Harits bin Khazraj. Dalam perjalanan ia bertemu dengan Abdullah bin Rawahah. Abdullah heran melihat kondisi mereka. Lalu, kasus tersebut dibawa ke Rasulullah saw.
Beliau segera memanggil Hasan bin Tsabit dan menasihatinya. Sebagai ganti rugi atas pemukulan Shafwan, Nabi saw memberi Tsabit sebuah istana Biyaraha yang semula milik Thalhah bin Sahl yang telah diberikan kepada Rasulullah saw. Selain itu, Nabi saw juga memberikan seorang budaknya Sirrin hadiah dari raja Mesir kepada Hasan yang kemudian melahirkan anak bernama Abdurahman bin Hassan.
Belakangan, menurut Aisyah, orang-orang pun bertanya tentang Shafwan. Didapati ternyata dia seorang yang impoten dan tidak bisa menggauli wanita. Tak lama setelah itu, Shafwan gugur sebagai syahid.[5]
Sebuah riwayat dari jalur Urwah bin Zubair disebutkan, Aisyah mengatakan, “Demi Allah, sesungguhnya laki-laki yang di-issu-kan itu berkata, ‘Maha Suci Allah, demi Dzat diriku ada pada-Nya, saya tidak pernah memasuki bilik wanita sama sekali.” Setelah itu ia gugur di medan jihad di jalan Allah.[6]
Jadi, dilihat dari berbagai penjelasan, berita buruk tentang Aisyah ini terbantahkan. Ia hanyalah peristiwa yang menjadi makanan empuk orang-orang munafik untuk memecah belah umat Islam saat itu.[7]

Orang Munafik Tak Bekerja Sendiri
Ketika fitnah Haditsul Ifki merebak, yang langsung terlintas dalam bayangan kita adanya berita itu akibat ulah orang-orang munafik. Merekalah yang merancang semua itu. Namun, al-Qur’an menjelaskan bukti bahwa yang membuat gosip itu justru sekelompok ‘oknum’ kaum Mukmimin. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari goongan kalian juga. Janganlah kalian kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian, bahkan ia adalah baik bagi kalian…” (QS an-Nur (24) : 11).
Secara berturut-turut ayat al-Qur’an mendebat kaum Mukminin yang terlibat pada peristiwa tersebut. “Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang Mukminin dan Mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata,” (QS an-Nur (24) : 12 )
Sementara itu peran yang dimainkan orang-orang munafik adalah meniup-niupkan berita ini dan menyebarkannya. Aisyah mengisyaratkan bahwa yang mengambil bagian terbesar dalam peristiwa ini adalah Abdullah bin Ubay, sebagaimana yang dikatakannya, “Bagian terbesar pada peristiwa itu adalah Abdullah bin Ubay bin Salul yang memberitakan kepada beberapa orang Khazraj tentang apa yang dikatakan Misthah dan ia menjaminnya.”
Aisyah menceritakan tersebarnya berita itu, “….ketika mereka telah tenang orang itu muncul dan menuntun kendaraanku, lalu orang-orang penyebar gosip itu mengatakan apa yang mereka katakan dan rombongan menjadi gempar. Demi Allah, aku tidak tahu-menahu sedikit pun soal itu….”
Orang-orang munafik tidak akan berani menyebarkan berita itu serta mengguncingkannya setelah kebusukan mereka terbongkar habis melalui Ibnu Ubay. Tersebarnya berita  itu dan tergoncangnya barisan Islam membuat peluang mereka sangat terbuka lebar untuk terlibat dan untuk menyalakan api dan balik tabit. Barangkali  Abdullah bin Ubay sendiri yang tampak dalam nash ini sebagai orang yang mengambil bagian terbesar.
Di kalangan barisan Islam, terdapat tiga orang yang berperan dalam peristiwa ini. Yakni,  Hassan bin Tsabit, penyair Rasulullah saw, orang yang Rasulullah saw pernah bersabda kepadanya, “Seranglah dan Ruhul Qudus bersamamu!”. Lalu, Misthah bin Utsatsah, salah seorang Muhajirin dan termasuk veteran Perang Badar, dan anak bibi Aisyah yang tinggal di rumah Abu Bakar. Kemudian, Hamnah binti Jahsy, anak bibi Rasulullah saw dan istri seorang syahid dalam Islam Mush’ab bin Umair.
Jadi, fenomena orang-orang munafik sebagai suatu kelompok muncul pertama kali menjelang Perang Uhud dan mencapai puncak dan bahayanya bagi barisan Islam pada Perang Uhud itu sendiri. Selanjutnya satu demi satu habis hanya tinggal beberapa orang yang bisa dihitung dengan jari.
Barisan Islam menjadi bersih dan murni, berkat tarbiyah Nabi saw, yang mendorong banyak di antara mereka masuk Islam dan bagus keislamannya. Fenomena ini muncul kembali pasca-Fathu Makkah saat Islam mulai menyabar ke seantero negeri Arab. Yang paling mencolok dalam fenomena tersebut adalah pada Perang Tabuk, dimana surah Bara’ah membongkar rencana dan strategi jahat mereka.
Munculnya kemunafikan pada Fathu Makkah ini disebabkan banyaknya orang masuk Islam secara terpaksa. Rasa takut membuat mereka menampakkan keislamannya dan menyembunyikan kekafiran. Ini yang menjadi benih kemunafikan. Wallahu a’lam.

[1] Bagian dari Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi 9/199, 200 dalam Bab Zuhud. Ia mengatakan: ini hadits hasan shahih. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 4/231 dari Hadits Abi Kabisyah al-Anmari. Hadits ini juga mempunyai penguat dari riwayat Abu Hurairah dalam shahih Muslim dengan redaksi; “dan tidaklah seorang hamba bertawadhu kecuali Allah meninggikannya.
[2] Al-Kasysyaf 3/217,218
[3] HR Bukhari 10/457 bab Adab, Imam Muslim 2/17 tentang Iman
[4]Ibnu Hisyam II/297
[5] Ibnu Hisyam II/230
[6] HR Bukhari 7/486-499, dan Imam Muslim 18/102-113 daam Bab Taubat
[7] Disarikan dari ar-Rahiqul Makhtum372-373, Ibnu Hisyam II/290-292.

Delapan Pelajaran Dakwah dari Kisah Yusuf

 AtsarSayyid Qutb menyatakan dalam tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an, bahwa satu-satunya surah yang Allah turunkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pada masa-masa sulit dalam sejarah dakwah dan kehidupannya, adalah surah Yusuf. Surah ini diturunkan antara ‘amul huzni (tahun duka cita karena kematian Abu Thalib dan Khadijah) dan antara baiat Aqabah pertama yang dilanjutkan dengan Baiat Aqabah kedua. Pada saat itu selain mengalami kesedihan karena ditinggal dua orang yang menjadi sandarannya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam juga mengalami kesedihan akibat pengasingan dan keterputusan hubungan di tengah-tengah masyarakat Quraisy.
Maka Allah menceritakan kepada Nabi-Nya yang mulia ini kisah Yusuf bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim, yang juga mengalami berbagai macam ujian dan cobaan. Yaitu ujian berupa tipu daya dari saudara-saudaranya, dimasukkan ke dalam sumur dengan penuh rasa takut. Kemudian menjadi budak yang diperjual belikan dari satu tangan ke tangan yang lain, dengan tidak ada perlindungan dari orang tua dan keluarganya. Setelah itu ia diuji dengan tipu daya dari istri penguasa Mesir. Selanjutnya ia diuji dengan dimasukkan ke dalam penjara setelah sebelumnya hidup dalam kelapangan dan kemewahan di istana sang penguasa.
Setelah diuji dengan kepahitan, berikutnya Yusuf diuji dengan kemakmuran dan kekuasaan yang mutlak ditangannya, mengatur urusan pangan dan perekonomian masyarakat. Akhirnya ia diuji berupa rasa kemanusiaan dalam menghadapi saudara-saudaranya yang dahulu telah memasukkannya ke dalam sumur dan merekalah yang menjadi sebab bagi ujian-ujian dan penderitaan dalam hidupnya.
Semua ujian dan cobaan itu dihadapi Yusuf dengan sabar sambil terus mendakwahkan Islam dari celah-celahnya. Pada akhirnya ia dapat lepas dari semua ujian dan cobaan itu.
Surah ini, kata Sayyid Qutb, bertujuan untuk menyenangkan, menghibur, dan menenangkan serta memantapkan hati orang terusir, terisolir, dan menderita, yakni Nabi Muhammadshalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Didalamnya diisyaratkan tentang berlakunya sunnah Allah ketika para rasul sudah merasa putus asa menghadapi kaumnya, bahwa akan ada jalan keluar yang membawa kepada kegembiraan yang didambakan setelah sekian lama mengalami ujian dan cobaan.[1]
Ahsanul Qasasi
Surah Yusuf disebut oleh Allah Ta’ala sebagai ahsanul qasasi (kisah yang paling baik),  karena di dalamnya banyak mengandung ‘ibrah (pelajaran) bagi orang-orang yang mempunyai akal.
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf, 12: 111).
Secara khusus surah ini pun menjadi bekalan yang sangat berharga bagi harakah Islamiyah di masa kini untuk menyiapkan kesabaran di atas kesabaran dalam mengarungi kehidupan, terlebih lagi dalam mengarungi kehidupan perjuangan di jalan Allah.
Sedikitnya ada delapan pelajaran berharga yang dapat kita ambil dari surah Yusuf ini,
Pertama, pelajaran tentang perlunya mewaspadai kaum pendengki dengan cara merahasiakan berita yang mungkin dapat mengusik mereka.
Ucapan Ya’qub kepada Yusuf yang dimuat dalam ayat 4 – 5 menggambarkan hal ini:
(Ingatlah), ketika Yusuf Berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, Sesungguhnya Aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.” Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”
Ibnu Katsir mengatakan bahwa Ya’qub mengkhawatirkan Yusuf akan menceritakan mimpinya kepada salah seorang saudaranya, padahal mimpi itu dapat menimbulkan kedengkian diantara mereka, karena takwil mimpi itu menggambarkan ketundukan, penghormatan, pengagungan, dan pemuliaan mereka kepada Yusuf dengan berlebihan hingga mereka tersungkur sambil bersujud.
Ayat ini memberikan pelajaran kepada harakah Islamiyah untuk berhati-hati dalam menyampaikan materi dakwah. Tidak semua berita harus diberitakan segera. Tidak semua ilmu harus disampaikan segera. Adakalanya berita-berita harus ‘disembunyikan’ untuk menghindarkan diri dan jama’ah dari kemudharatan yang mungkin timbul. Apalagi kaum pendengki senantiasa mencari celah untuk menghantam dan melemahkan harakah Islamiyah.
Islam bahkan mengajarkan, kadang-kadang bukan hanya ‘berita buruk’ saja yang harus disembunyikan, tetapi juga ‘berita baik’.
Masih ingat kisah Abu Hurairah dan sandal Rasulullah? Perhatikanlah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ini:
Suatu hari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan sandal beliau kepada Abu Hurairah seraya berkata, “Hai Abu Hurairah, pergilah kamu, bawa sandalku ini. Lalu, siapa saja yang kamu temui di balik tembok ini,  yang telah menyatakan bahwasanya tiada Tuhan melainkan Allah, dengan sepenuh keyakinan hatinya, maka berilah kabar gembira kepadanya, dia akan masuk surga.”
Maka yang pertama-tama ditemui Abu Hurairah ialah Umar bin Khattab. Dia bertanya, “Apa maksud sepasang sandal ini, Hai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab: “Ini sandal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menyuruh aku membawanya (dengan pesan), siapa saja yang aku temui telah menyatakan, bahwasanya tiada Tuhan melainkan Allah dengan sepenuh keyakinan hatinya, maka aku beri kabar gembira, dia bakal masuk surga.”
Mendengar hal itu, tiba-tiba Umar menghantamkan tangannya ke dada Abu Hurairah sampai ia jatuh terduduk, seraya berkata, “Kembali, hai Abu Hurairah!”. Maka Abu Hurairah pun kembali menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam setengah menangis, sementara Umar membuntutinya.
“Kenapa kamu hai Abu Hurairah?” Tanya Rasul kepada Abu Hurairah. Ia menjawab, “Saya bertemu Umar, lalu saya beritahu dia apa yang telah tuan perintahkan kepadaku, tapi tiba-tiba dia memukul dadaku sampai aku jatuh terduduk, seraya menyuruh aku kembali.”
“Hai Umar,” Rasul bertanya kepada Umar, “Kenapa kamu melakukan seperti ini?”
Umar menjawab, “Ya Rasulullah, aku tebus engkau dengan ayah bundaku, benarkah engkau menyuruh Abu Hurairah membawa sandalmu (dengan berpesan), barangsiapa yang dia temui telah menyatakan tiada Tuhan melainkan Allah dengan sepenuh keyakinan hatinya, maka dia beri kabar gembira bakal masuk surga?”
“Benar,” jawab Rasul. Maka Umar menyarankan, “Jangan lakukan itu. Karena saya benar-benar khawatir orang-orang akan mengandalkan kata-kata itu saja. Sebaiknya, biarkanlah mereka beramal.” Akhirnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Kalau begitu, biarkan mereka.”
Dari hadits ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa realita pemahaman masyarakat kadang-kadang mengharuskan kita untuk sabar dan tidak tergesa-gesa dalam melaksanakan tahapan ini atau itu dalam berdakwah.
Kita hendaknya menyampaikan dakwah hanya kepada orang yang telah siap mendengarkan dan menghargainya serta memahami di mana posisi dari perkara yang diserukan dalam Islam secara keseluruhan.
Sudah seharusnya pula kita menyampaikan dakwah pada saat yang tepat, pada tempat dan kerangka yang bisa memperjelas hakekat dan arti sebenarnya dari perkara yang diserukan tersebut, serta dapat menghilangkan keraguan yang mungkin terjadi. Jangan sampai dakwah menimbulkan kesalahfahaman orang terhadap sistem Islam, karena ada masalah-masalah yang baru bisa difahami setelah memahami dulu masalah-masalah lainnya.
Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui pandangan Umar untuk mencegah tersebarnya kabar gembira seperti di atas di kalangan orang banyak saat itu. Meskipun akhirnya Abu Hurairah menyampaikan juga hadits ini, tentu saja ketika dia tahu telah tiba saatnya yang tepat bagi kaum muslimin untuk memahaminya secara tuntas.[2]
Kembali lagi pada masalah kewaspadaan terhadap kaum pendengki, dalam ayat ini pun di isyaratkan bahwa kaum pendengki itu tidak selalu berasal dari kalangan eksternal, tapi mungkin juga datang dari kalangan internal.
Walaupun memiliki hubungan darah, saudara-saudara Yusuf ternyata merasa cemburu, iri, dan dengki, sehingga tega merencanakan makar dengan didasari kepentingan yang sama. Mereka merekayasa tipu daya, kebohongan, bersandiwara, dan mengajukan bukti-bukti palsu demi untuk memuaskan kedengkian mereka kepada Yusuf. Bahkan saking dengkinya, diantara saudara-saudara Yusuf ada yang mengusulkan upaya pembunuhan terhadap Yusuf. (lihat: surah Yusuf ayat 8 – 18).
Kedua, pelajaran tentang pentingnya menghadirkan kesabaran dalam menghadapimakar musuh.
Di jalan dakwah ini, seorang aktivis harus memiliki kesiapan mental untuk menghadapi makar para pendengki dan musuh dakwah. Karena makar itu adakalanya mencoreng kehormatan dan menjadikan mereka terhina. Namun yakinilah, selama mereka ikhlash dalam melangkah, AllahTa’ala akan senantiasa membimbing dan menolongnya. Apalagi cobaan itu hanyalah untuk sementara waktu saja sifatnya.
Kisah dalam surah Yusuf mengajarkan bahwa harus ada kesabaran di atas kesabaran dalam menghadapi ujian dan cobaan. Yusuf setelah dimasukkan ke dalam sumur dan dipungut oleh kafilah dagang, dijadikan budak belian yang begitu terhina. Bahkan di ayat 20 disebutkan, beliau dijual dengan harga yang murah,
“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.”
Sesungguhnya kesabaran itu akan menggiring kita pada kebangkitan. Makar para pendengki kadang menjadi kesempatan bagi para da’i untuk mengkonsolidasikan kekuatan. Ia menjadi wahana tarbiyah rabbaniyyah dalam rangka mematangkan kesiapannya mengarungi medan yang lebih luas.
Lihatlah Yusuf, karena kesabarannya kemudian Allah menyiapkan untuknya seorang pembeli dari Mesir yang akan memperhatikan dan memuliakannya. Yusuf ditempatkan oleh Allah di negeri Mesir lalu dikuatkanlah ia dengan hikmah dan ilmu, “…dan agar kami ajarkan kepadanya ta’bir mimpi. dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya. Dan tatkala dia cukup dewasa, kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.(QS. Yusuf, 12: 22).
Tentang ayat ini Sayyid Qutb berkata, “Inilah Yusuf! Saudara-saudaranya menghendaki sesuatu terhadapnya, tetapi Allah menghendaki sesuatu yang lain untuknya. Karena Allah itu berkuasa atas segala urusan-Nya. Sedangkan saudara-saudara Yusuf, mereka tidak berkuasa atas urusan mereka sehingga Yusuf dapat lepas dari tangan mereka dan bebas dari apa yang mereka kehendaki terhadapnya…”
Jadi, makar kaum pendengki kadang malah jadi penghantar menuju kemenangan dan kemuliaan dari Allah. Makar yang mereka rencanakan dijadikan jalan oleh Allah untuk menggenapkan rencana-rencana-Nya.
“Dan merekapun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menyadari.” (QS. An-Naml, 27: 50)
Allahu Akbar wa lillahil hamd!
Ketiga, pelajaran tentang kesadaran akan keniscayaan ujian yang akan datang silih berganti.
Karena ujian adalah sunnatullah yang pasti berlaku dan tidak mungkin dihindari.
Di jalan dakwah ini para da’i pasti mengalami ujian berupa hambatan, rintangan, dan godaan. Semuanya akan datang berturut-turut silih berganti. Yusufpun mengalami hal itu. Setelah sejenak bernafas lega dapat tinggal di istana, datanglah godaan menghampirinya: godaan wanita!
“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: ‘Marilah ke sini.’ Yusuf berkata: ‘Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.’ Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntungSesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.” (QS. Yusuf, 12: 23 – 24)
Namun dengan bekal keimanan, Yusuf mampu menghindarkan dirinya dari perbuatan tercela itu. Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa Yusuf. punya keinginan yang buruk terhadap wanita itu (Zulaikha), akan tetapi godaan itu demikian besarnya sehingga andaikata dia tidak dikuatkan dengan keimanan kepada Allah s.w.t tentu dia jatuh ke dalam kemaksiatan.
Potongan ayat ini menamkan pelajaran yang berharga kepada para pengemban dakwah, bahwa mereka harus selalu waspada pada setiap godaan dunia. Mereka harus selalu memperkuat sikap ihsan. Jangan sampai mengalami disorientasi dalam kehidupan. Dengan demikian mereka perlu melakukan tazkiyatu nafs secara berkesinambungan agar tidak mudah tergoda dunia.
Penolakan Yusuf tersebut ternyata berbuntut panjang. Wanita penggoda Yusuf itu menimpakan kecelakaan berikutnya dengan melemparkan tuduhan keji kepadanya. Jadilah Yusuf tertuduh.
“Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu. Wanita itu berkata: ‘Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?’ (QS. Yusuf, 12: 25)
Inilah konsekwensi sikap konsisten pada kebenaran. Bersiaplah dengan fitnah-fitnah yang akan datang. Bersabarlah. Bertahanlah dalam kebenaran. Allah pasti menolong hambanya yang berpegang teguh pada kebenaran dalam situasi sesempit apa pun.
Lihatlah Yusuf, dalam keadaan terpojok dengan tuduhan keji dan berusaha membela diri, ternyata Allah berkenan membelanya dengan cara mendatangkan orang-orang yang adil dan bersikap objektif. Bahkan orang yang menjadi pembela tersebut berasal dari lingkungan keluarga wanita penuduh itu sendiri.
“Yusuf berkata: ‘Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)’, dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: ‘Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, Maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar.’(QS. Yusuf, 12: 26-27).
Yusuf kemudian diminta merahasiakan kejadian yang memalukan itu (lihat: ayat 29). Tetapi tetap saja berita itu tersebar luas di masyarakat. Meskipun ia tidak bersalah, namun gosip itu tetap saja membuatnya tidak nyaman.
“Dan wanita-wanita di kota berkata: ‘Isteri Al Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), Sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata.’ (QS. Yusuf, 12: 30).
Gosip-gosip tidak sedap adalah bentuk lain dari ujian dan cobaan. Setiap da’i harus menghadapinya dengan sabar. Kadang ada segelintir orang yang merekayasa gosip-gosip tidak sedap itu, bahkan sampai pada upaya pemutarbalikan fakta. Inilah yang terjadi kepada Yusuf.
“Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu waktu.” (QS. Yusuf, 12: 35)
Tentang ayat ini Ibnu Katsir berkata, “Mereka memenjarakannya (Yusuf) setelah tersiar berita yang mengesankan seolah-olah Yusuflah yang merayu istri Al-Aziz.”
Begitulah, ujian datang bertubi-tubi. Yusuf kemudian dipenjara, meskipun ia tidak bersalah. Ruang geraknya dibatasi demi melindungi aib istri pejabat yang tengah terpikat dan bergelora cintanya. Yusuf tetap bersabar. Di satu sisi ia pun bersyukur karena Allah telah mengabulkan do’anya,
“Wahai Tuhanku, penjara lebih Aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu Aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah Aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf, 12: 33).
Ya, penjara baginya lebih baik daripada terganggu oleh godaan wanita yang tetap bernafsu untuk menundukkannya (lihat: ayat 32).
Keempat, pelajaran tentang dakwah yang tidak kenal henti.
Dalam situasi sesulit apa pun, dan kondisi yang sempit, dakwah tetap harus dikobarkan.
Bersama Yusuf masuk pula ke dalam penjara dua orang pemuda. Keduanya meminta kepada Yusuf  untuk mentakwilkan mimpi mereka, “Sesungguhnya aku bermimpi memeras anggur.”dan yang lainnya berkata: “Sesungguhnya aku bermimpi membawa roti di atas kepalaku, sebahagiannya dimakan burung.” Dua orang pemuda itu adalah pelayan-pelayan raja; seorang pelayan yang mengurusi minuman raja dan yang seorang lagi tukang buat roti.
Perhatikanlah bagaimana Yusuf memanfaatkan kesempatan itu untuk menyampaikan dakwahnya,
“Yusuf berkata: ‘Tidak disampaikan kepada kamu berdua makanan yang akan diberikan kepadamu melainkan aku telah dapat menerangkan jenis makanan itu, sebelum makanan itu sampai kepadamu. yang demikian itu adalah sebagian dari apa yang diajarkan kepadaku oleh Tuhanku. Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian.
Dan aku pengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukuri (Nya).
Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa
Apa yang kamu sembah selain Dia hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf, 12: 37- 40).
Ayat ini menggambarkan kepiawaian Yusuf dalam berkomunikasi. Sayyid Qutb berkata,“Tampak sekali metode pembicaraan Yusuf yang halus dalam memasuki jiwa orang tersebut. Tampak pula kecerdasan dan kecerdikannya di dalam mengungkapkan kalimat yang halus dan lembut.”
Mula-mula Yusuf menenangkan mereka dengan mengatakan bahwa dia akan mentakwilkan mimpi mereka. Karena Tuhannya telah mengajarinya ilmu. Namun dengan kepiawaiannya Yusuf mulai menggiring pembicaraan untuk mengenalkan ajaran tauhid yang diyakininya. Setelah seruannya selesai, barulah ia menjelaskan takwil mimpi yang diminta kedua temannya itu.
Sayyid Qutb kembali berkomentar, “Ini merupakan cara masuk yang halus…selangkah demi selangkah…penuh kehati-hatian dan lemah lembut…Kemudian ditanamkan ke dalam hati mereka lebih banyak dan lebih banyak lagi. Dan dijelaskanlah kepada mereka akidahnya dengan sejelas-jelasnya, Disingkapkannya kerusakan akidah mereka dan kaum mereka, serta keburukan realitas kehidupan yang mereka jalani…”
Kisah Yusuf di atas mengajarkan kepada para da’i, bahwa dalam kondisi apa pun dakwah harus tetap dijalankan. Tak kenal henti.  Ayat-ayat di atas mengisyaratkan pula bahwa para da’i harus memiliki visi yang jelas dalam dakwahnya; memiliki target dan memahami prioritas dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan para mad’u.
Ditegaskan di dalam kisah ini bahwa prioritas dakwah adalah seruan kepada tauhid. Kisah Yusuf mengajarkan kepada para da’i untuk tidak terjebak atau membatasi diri  pada hal-hal populis dalam seruan dakwahnya, sementara lupa pada misi utama yang diembannya.
Satu hal lagi yang diajarkan dalam ayat-ayat ini, bahwa upaya-upaya untuk keluar dari kesempitan harus terus dilakukan. Yusuf melakukan hal itu dengan meminta kepada temannya untuk menyampaikan hal dirinya kepada Raja Mesir. Hal ini diharapkan dapat menjadi jalan kebebasannya.
“Dan Yusuf Berkata kepada orang yang diketahuinya akan selamat diantara mereka berdua: ‘Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu.’ Maka syaitan menjadikan dia lupa menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. Karena itu tetaplah dia (Yusuf) dalam penjara beberapa tahun lamanya.” (QS. Yusuf, 12: 42).
Kelima, pelajaran tentang pentingnya para da’i memiliki keunggulan ilmu.
Keunggulan ilmu, mutlak dibutuhkan oleh para da’i. Dengan keunggulan itu mereka dapat memberi dan menawarkan solusi kepada umat. Begitulah kisah Yusuf mengajarkan kepada kita. Saat Raja dibingungkan oleh mimpinya yang aneh Yusuf kemudian mampu menjelaskannya. Ia dapat memprediksi masalah-masalah yang akan menimpa masyarakat dan sekaligus mampu memberikan solusinya (lihat: ayat 43 – 49).
Ayat-ayat ini harus menjadi renungan bagi para da’i masa kini. Sudahkah mereka mampu memberi dan menawarkan solusi pada masyarakat?
Harus difahami bahwa pekerjaan da’i hendaknya tidak hanya terbatas pada urusan perbaikan akidah dan ibadah. Kontribusi mereka hendaknya tidak terbatas pada urusan moral semata. Di dalam kisah ini Allah menyampaikan pesan, bahwa seorang da’i pun harus mampu berbicara tentang ‘masalah dunia’ yang ada dalam realita masyarakat.
Oleh karena itu jama’ah dakwah hari ini, harus mampu menghimpun bibit unggul, menyiapkan iron stock, sebagai upaya turut serta dalam memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Keenam, pelajaran tentang perlunya melakukan upaya rehabilitasi citra dakwah.
Ayat 50 – 53 surah ini menginformasikan bagaimana upaya Yusuf merahabilitasi nama baiknya. Ia telah digosipkan melakukan rayuan kepada majikannya untuk berbuat serong sehingga ia dipenjara. Saat Raja memanggilnya menghadap, Yusuf menolak, ia meminta terlebih dahulu agar Raja melakukan penyelidikan terhadap kasus yang dituduhkan kepadanya. Dengan upayanya itu, tersingkaplah kebenaran. Nama baiknya kembali pulih. Wanita penggoda Yusuf mengakui kesalahannya.
Sikap Yusuf seperti itu dipuji oleh Rasaulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Karena hal itu menunjukkan keutamaan dan kesabaran Yusuf. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
لَوْ كُنْتُ أَنَا لأَسْرَعْتُ الإِجَابَةَ, وَمَا ابْتَغَيْتُ العُذْرَ (رواه احمد)
“Jika yang dipenjara itu aku, niscaya aku akan bergegas memenuhi ajakan utusan itu dan tidak akan meminta alasan.” (HR. Ahmad).[3]
Pelajaran yang dapat diambil dari kisah ini adalah perlunya para da’i mengupayakan rehabilitasi atas citra buruk yang disematkan musuh-musuh kepada dirinya dan dakwah. Mereka harus berupaya menutup celah-celah yang mungkin dimanfaatkan oleh para pendengki di kemudian hari.
Citra yang baik sangat dibutuhkan dalam dakwah. Karena ia dapat melahirkan kepercayaan dan dukungan.
Ketujuh, pelajaran tentang kesiapan para da’i berkontribusi dan memikul tanggung jawab kenegaraan.
Saat Raja meminta Yusuf untuk membantu pemerintahannya, Yusuf menawarkan diri untuk mengisi jabatan bendaharawan negara. Hal ini disebutkan dalam ayat 54 – 55,
“Dan raja berkata: ‘Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku’. Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami’.
Berkata Yusuf: ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan’.
Sayyid Qutb menjelaskan bahwa Yusuf hanya meminta jabatan yang diyakininya dapat mengatasi krisis di masa depan. Jabatan yang diyakininya akan melindungi orang-orang dari kematian, melindungi negara dari kehancuran dan kelaparan.
Yusuf tidak meminta kedudukan demi kepentingan diri sendiri, sesungguhnya tugas mencukupi kebutuhan makanan suatu bangsa yang dilanda kelaparan selama tujuh tahun berturut-turut, tidak seorang pun mengatakannya sebagai keberuntungan. Sesungguhnya tugas ini merupakan beban yang dihindari oleh setiap orang.[4]
Point ketujuh ini memperkuat apa yang sudah dijelaskan sebelumnya pada point kelima, bahwa para da’i harus memiliki keunggulan ilmu, dengan begitu ia akan mampu memberikan kontribusi dan siap memikul tanggung jawab (qudratu ‘ala tahammul) demi kemaslahatan masyarakat.
Ayat ini mengisyaratkan sekali lagi kepada para da’i, hendaknya mereka mempersiapkan diri dan tidak segan menjadi pengelola negeri. Mengemban tugas negara untuk memberikan kebaikan kepada masyarakat secara luas, tanpa melihat latar belakang mereka, apa pun suku, agama, dan ras mereka. Karena tugas kita adalah beramal saleh, menebarkan seruan Islam, dan mewujudkan rahmatan lil ‘alamin. Allah tidak menuntut kita untuk berhasil secara total mengislamkan masyarakat seluruhnya, walaupun itu harus kita upayakan dengan keras. Urusan hidayah adalah urusan Allah semata.
Itulah yang dilakukan Yusuf di negeri Mesir. Ia berkontribusi, beramal, dan berusaha menyelamatkan masyarakat dari kelaparan; menyelamatkan negara dari kehancuran. Agama raja dan masyarakatnya yang jauh dari tauhid, tidak menghalanginya untuk menebarkan kebaikan. Tentu saja dengan kekuasaannya, Yusuf terus berusaha menyeru masyarakatnya kepada tauhid, tetapi sekali lagi, urusan hidayah adalah urusan Allah. Al-Qur’an bahkan menyebutkan bahwa Yusuf ‘gagal’ menjadikan masyarakatnya menjadi masyarakat Islam secara menyeluruh.
Allah mengungkapkan hal ini dengan firman-Nya,
“Dan sesungguhnya Telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan, tetapi kamu senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu, hingga ketika dia meninggal, kamu berkata: ‘Allah tidak akan mengirim seorang (rasulpun) sesudahnya.’ Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu.” (QS. Mu’min, 40: 34)
Ini adalah kalimat yang disampaikan anak paman Fir’aun yang beriman kepada Nabi Musa. Ia menyatakan ini untuk mengingatkan Fir’aun tentang ajaran tauhid yang pernah diserukan di negeri Mesir dahulu kala.[5]
Jadi, Yusuf  telah mengajak mereka beriman dan memberikan bukti-bukti kerasulannya yaitu ajaran-ajaran tentang iman kepada Allah dan berbuat baik, serta mu’jizat-mu’jizat yang diberikan Allah kepadanya. Akan tetapi mereka tetap tidak mau percaya kepadanya. Mereka hanya mematuhinya sebagai seorang menteri atau pembesar negara.[6]
Kenyataan seperti ini menjadi penegasan kepada para da’i bahwa mereka berdakwah semata-mata karena Allah. Mereka berkontribusi dan berbuat kebaikan kepada negara semata-mata karena ibadah kepada-Nya. Jihad siyasi yang dilakukan saat ini adalah sebuah ikhtiar agar mereka mampu beramal lebih banyak dan menunjukkan kepada masyarakat bahwa Islam iturahmatan lil ‘alamin.
Kedelapan, pelajaran tentang keharusan berbuat baik dan memaafkan kesalahan kaum pendengki.
Ayat 58 – 101 surah ini mengisahkan episode terakhir kisah Yusuf. Bagaimana Yusuf setelah diberikan kedudukan yang mulia mampu menjalankan tanggung jawabnya dengan baik. Bahkan ia tidak hanya memberikan manfaat kepada rakyat Mesir saja, akan tetapi meluas sampai ke negeri-negeri di sekitarnya.
Disini diceritakan bahwa saudara-saudara Yusuf dari negeri tetangga datang memohon pertolongan. Disinilah Yusuf diuji kembali kesabarannya. Apakah ia tetap sabar atau melampiaskan kemarahannya atas perilaku zalim saudara-saudaranya itu sebelumnya?
Yusuf ternyata memilih untuk bersabar, berbuat baik, dan memaafkan saudara-saudaranya itu.
Dia (Yusuf) berkata: “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang”. (QS. Yusuf, 12: 92).
Begitulah seharusnya seorang mu’min. Begitulah seharusnya para pengemban dakwah bersikap. Kelak ketika mereka diberikan kemuliaan oleh Allah, memiliki kekuasaan dan kehormatan, ia mampu tetap berbuat baik dan memaafkan orang-orang yang pernah mendengki dan mencelakakannya.
Itu pula yang dilakukan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam saat melakukan fathu Makkah. Beliau berseru kepada orang-orang Quraisy, “Wahai orang-orang Quraisy, menurut kalian, bagaimana tindakanku terhadap kalian?” Mereka menjawab, “Kebaikan. Saudara yang mulia. Keponakan yang mulia.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pergilah kalian. Sekarang kalian adalah orang-orang yang merdeka.”[7]
Terakhir, marilah kita renungkan do’a yang dipanjatkan Yusuf kepada Tuhannya,
“Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta’bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (QS. Yusuf, 12: 101)
Demikianlah diantara mutiara-mutiara hikmah yang dapat digali dari kisah yang terbaik ini. Semoga Allah mencurahkan hidayah dan bimbingan kepada kita semua dalam mengarungi jalan dakwah. Amin Ya Rabbal ‘Alamin…

Daftar Bacaan
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid II, Gema Insani Press.
Terjemah Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jilid VI, Sayyid Qutb, Gema Insani Press.
Al-Qur’anul Karim Wa Tafsiruhu, Jilid VIII, Kementerian Agama RI.
Fikih Sirah, Dr. Said Ramadhan Al-Buthy, Hikmah.
Fikih Harakah, Jamal Sulthon, Cahaya Press.

[1] Lihat terjemah Fi Zhilalil Qur’an, Gema Insani Pressjilid 6 hal. 301 – 303.
[2] Lihat: Fikih Harakah, Jamal Sulthon, Hal. 91 – 93, Cahaya Press.
[3] Lihat: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid II, Gema Insani Press, hal. 862
[4] Lihat: Terjemah Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid VI, Gema Insani Press,  hal. 366-367
[5] Para ulama berbeda pendapat tentang nama anak paman Fir’aun ini. Al-Khazin dan An-Nasafi menyebutnya bernama Sam’an atau Habib, sementara ada yang menyebutnya bernama Kharbil atau Hazbil. (lihat: Al-Qur’anul Karim Wa Tafsiruhu, Jilid VIII, hal. 530).
[6] Lihat: Al-Qur’anul Karim Wa Tafsiruhu, Jilid VIII, hal. 536.
[7] Lihat: Fikih Sirah, Dr. Said Ramadhan Al-Buthy, Hikmah, hal. 477.

Pelajaran Tentang Jihad Siyasi dari Sirah Perjanjian Hudaibiyah

makkah
Oleh: H.Khozin Abu Faqih, Lc.
Pada bulan Dzul Hijjah tahun 6 Hijriah, Rasulullah saw. bersama isteri beliau Ummu Salamah dan sekitar 1400 shahabat berangkat menuju ke Makkah untuk melakukan Umrah. Mereka tidak membawa senjata, kecuali yang biasa dibawa oleh para musafir, yaitu pedang yang berada di sarungnya. Juga membawa binatang sembelihan “Al-Hadyu” untuk meyakinkan masyarakat, bahwa kaum muslimin benar-benar ingin melakukan Umrah.
Ketika tercium berita bahwa kaum musyrikin hendak menghadang kaum muslimin, maka beliau mengutus Utsman bin Affan untuk menjelaskan kepada para pemuka Quraisy tentang tujuan kedatangan kaum muslimin ke Makkah. Akan tetapi, tersiar berita bahwa Utsman terbunuh, maka Rasulullah saw. membai’at para shahabat di bawah pohon. Bai’at itu dikenal dengan nama Bai’atur Ridlwan.
Quraisy yang mengetahui kondisi tersebut, segera mengutus Suhail bin Amr untuk membuat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian damai inilah yang dikenal dengan nama “Shulhu Hudaibiyah.” Perdamaian ini memberi banyak pelajaran kepada para aktivis dakwah di sepanjang masa, antara lain sebagai berikut.
  1. Sikap akomodatif jauh lebih bermanfaat daripada konfrontatif, di mana sebelum perdamaian ditandatangani, Rasulullah saw. menyatakan dengan sumpah,
 وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَسْأَلُونِي خُطَّةً يُعَظِّمُونَ فِيهَا حُرُمَاتِ اللَّهِ إِلاَّ أَعْطَيْتُهُمْ إِيَّاهَا
“Demi Dzat Yang jiwaku di Tangan-Nya, tidaklah mereka meminta sesuatu hal yang menyebabkan mereka mengagungkan kemuliaan Allah swt., kecuali aku akan memberikan sesuatu tersebut.” (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar menjelaskan dalam Fathul Baari bahwa yang dimaksud “Mereka mengagungkan kemuliaan Allah swt.” adalah meninggalkan perang di tanah Haram. Sedangkan, dalam riwayat Ibnu Ishaq dinyatakan, “Mereka meminta kepadaku sesuatu yang dapat meyambung kekerabatan.” Pernyataan itu menegaskan bahwa beliau lebih memilih perdamaian daripada perang.
  1. Menghapuskan beberapa hal yang tidak subtansial secara administratif, demi tercapainya perdamaian dan kebersamaan.
“…Maka Rasulullah saw. memanggil juru tulis (dalam riwayat lain Ali bin Abi Thalib ra.), kemudian bersabda, “Tulislah ‘bismillahir rahmanir rahim’.” Suhail (delegasi Quraisy) berkata, “Adapun Ar-Rahman, maka demi Allah aku tidak mengenalnya. Oleh karena itu, tulislah,Bismika Allahumma, sebagaimana yang kamu tulis.” Para shahabat berkata, “Demi Allah, kami tidak akan menulis, kecuali Bismillahir rahmanir rahim.” Nabi saw. bersabda, “Tulislah,Bismika Allahumma.” Kemudian beliau melanjutkan sabdanya, “Ini yang telah diputuskan oleh Muhammad Rasulullah.” Suhail berkata, “Demi Allah, kalau kami mengetahui bahwa kamu Rasul Allah, maka kami tidak akan menghalang-halangimu dari baitullah dan tidak akan memerangimu. Tulislah, ‘Muhammad bin Abdillah’.” Nabi saw. bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar Rasul Allah, meski kalian mendustakan aku. Tulislah, ‘Muhammad bin Abdillah’.” (HR. Bukhari)
Az-Zuhri mengatakan, “Inilah yang dimaksud oleh ucapan Rasulullah saw., ‘Demi Dzat Yang jiwaku di Tangan-Nya, tidaklah mereka meminta sesuatu hal yang menyebabkan mereka mengagungkan kemuliaan Allah swt., kecuali aku akan memberikan sesuatu tersebut’.” (HR. Bukhari)
Penggalan sirah ini menggambarkan bahwa Rasulullah saw. rela menghapus tulisan Nama Allah Ar-Rahman dari teks perjanjian, demi tercapainya kesepatakan. Beliau juga menghapus tulisan Rasulullah saw. dan menggantinya dengan nama asli, Muhammad bin Abdillah, demi terwujudnya perdamaian. Karena penghapusan tulisan tersebut tidak mempengaruhi keyakinan kaum muslimin dan tidak mereduksi keimanan mereka sedikit pun. Ini hanya urusan administrasi antara kaum muslimin dan kaum Quraisy, serta strategi perjuangan. Bukan subtansi aqidah dan keimanan.
  1. Tidak hanya memandang kepentingan jangka pendek, tetapi memandang kepentingan dakwah ke depan yang lebih luas. Meski untuk itu harus mengorbankan sebagian kepentingan jangka pendek.
Ketika butir perjanjian keempat tengah dibahas, “Jika ada orang Quraisy yang melarikan diri ke Muhammad, tanpa seizin walinya, maka Muhammad mengembalikannya kepada Quraisy. Sebaliknya, jika pengikut Muhammad melarikan diri ke Quraisy, maka mereka tidak perlu mengembalikannya kepada Muhammad.” Saat itu datanglah Abu Jandal bin Suhail dengan menyeret belenggu yang mengikatnya. Ia berjalan dari ujung Makkah, lalu melemparkan diri di tengah kaum muslimin. Melihat itu, Suhail berkata, “Ini orang pertama yang aku tuntut untuk dikembalikan.”
Rasulullah saw. menjawab, “Kita belum menyepakati butir perjanjian.”
Suhail mengatakan, “Kalau begitu, demi Allah, aku tidak akan menuntut apa pun kepadamu untuk selamanya.”
Rasulullah saw. berkata, “Kalau begitu, izinkan dia untukku.”
Suhail berkata, “Aku tidak akan memberi izin padanya untukmu.” Kemudian Suhail memukul wajah Abu Jandal dan menarik kerah bajunya, untuk dikembalikan kepada kaum musyrikin. Maka Abu Jandal berteriak dengan keras, “Wahai kaum muslimin, apakah aku akan dikembalikan kepada kaum musyrikin, agar mereka menyiksaku karena agamaku?”
Rasulullah saw. menjawab, “Wahai Abu Jandal, bersabarlah dan mohonlah pahala dari Allah. Sesungguhnya Allah akan memberikan jalan keluar kepadamu dan orang-orang yang tertindas sepertimu. Kami telah mengikat perdamaian dengan mereka, dan kami tidak akan menghianatinya.”
  1. Rasulullah saw. membatalkan keinginannya dan keinginan para shahabat untuk Umrah, meski persiapan untuk itu telah maksimal. Bahkan para shahabat sudah siap bertempur hingga titik darah penghabisan. Ini semua dilakukan oleh Rasulullah saw. demi menjaga perdamaian dan menghindari pertempuran.
Pada awalnya para shahabat tercengang dengan keputusan Rasulullah saw., namun, ketercengangan mereka bukan karena kepentingan pribadi, tetapi karena semangat keagamaan dan kemaslahatan bagi dakwah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Umar bin Khathab ra., “Maka aku menemui Rasulullah saw. dan bertanya, ‘Bukankah engkau benar-benar Nabi Allah?’
Beliau menjawab, ‘Benar.’
Aku bertanya, ‘Bukankah kita berada di pihak yang benar dan musuh kita di pihak yang batil?’
Beliau menjawab, ‘Benar.’
Aku berkata, ‘Lalu mengapa kita menimpakan kehinaan pada agama kita?’
Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya aku ini Rasul Allah; aku tidak akan durhaka kepada-Nya dan Dia akan menolong-ku.’
Aku bertanya, ‘Bukankah engkau berkata kepada kami bahwa kita akan datang ke Baitullah dan berthawaf?’
Beliau menjawab, ‘Benar, tetapi apakah aku mengatakan padamu bahwa kita akan datang ke Baitullah tahun ini?’
Aku menjawab, ‘Tidak.’
Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya kamu akan datang ke Baitullah dan thawaf di sekitarnya’.”
Bahkan kekagetan mereka benar-benar luar biasa, sehingga ketika diperintahkan oleh Rasulullah saw. untuk menyembelih binatang sembelihan dan mencukur rambut, tidak ada yang menyambut, sampai akhirnya dicontohkan oleh beliau sendiri. Kemudian, mereka berlomba meniru beliau. Kekagetan mereka itu disebabkan oleh beberapa hal, antara lain sebagai berikut.
Pertama, mereka telah bersiap maksimal untuk melakukan Umrah dan Rasulullah saw. melakukan mobilisasi besar-besaran, sehingga tidak ada yang tertinggal di Madinah, kecuali yang mendapat tugas, kaum wanita, anak-anak, dan kaum munafikin.
Kedua, ketika ada ancaman perang, mereka telah berjanji setia untuk membela Islam, hingga titik darah penghabisan. Sebagaimana dalam Bai’atul Ridlwan.
Ketiga, isi perjanjian damai seolah-olah merugikan kaum muslimin, bahkan menghinakan mereka.
Meski demikian, ketika sudah menjadi keputusan, maka mereka kembali normal dan menerima kebijakan, hingga Allah swt. menurunkan ketenangan kepada hati mereka dan mengkaruniakan kemenangan besar kepada mereka.
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus, dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak). Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Al-Fath: 1-4)
Perdamaian Hudaibiyah ini merupakan kemenangan nyata dan pengantar kemenangan-kemenangan besar setelahnya. Di antara bentuk kemenangan perdamaian ini adalah sebagai berikut.
Pertama, kemenangan dakwah. Karena dengan perdamaian ini manusia mendapatkan rasa aman, sehingga orang lebih rasional. Maka Islam lebih berpeluang mengisi akal fikiran dan hati manusia, sehingga dalam kurun waktu dua tahun jumlah kaum muslimin bertambah secara spektakuler. Ibnu Hisyam menyatakan bahwa pada saat Hudaibiyah Rasulullah saw. berangkat bersama 1400 shahabat, sedang dalam fathu makkah dua tahun setelahnya beliau berangkat bersama 10.000 pasukan. Di antara yang masuk Islam di masa itu adalah Khalid bin Walid ra. dan Amr bin Ash ra. Az-Zuhri mengatakan, “Islam belum pernah mendapatkan kemenangan yang melebihi kemenangan tersebut.
Kedua, optimalisasi potensi kaum muslimin untuk meluaskan territorial dakwah. Sebab perjanjian itu dapat mengurangi tekanan dan ancaman kekuatan musuh (terutama Quraisy), sehingga kaum muslimin dapat lebih leluasa membebaskan Jazirah Arab dari sisa-sisa Yahudi yang selalu berkhianat. Pada tahun 7 Hijrah terjadilah perang Khaibar, di mana kaum muslimin mendapatkan rampasan perang besar. Rampasan itu hanya diberikan kepada kaum muslimin yang ikut perjanjian Hudaibiyah.
Ketiga, pengakuan eksistensi kekuasaan Islam. Ustadz Muhammad ‘Izzah Darwazah mengatakan dalam sirahnya, “Tidak diragukan bahwa perjanjian damai yang dinamai oleh Al-Qur’an kemenangan yang agung ini, benar-benar berhak mendapatkan nama tersebut. Bahkan dapat dikatakan bahwa peristiwa itu merupakan fase penentu dalam sirah nabawiyah, sejarah Islam dan kekuatannya, atau dengan kata lain peristiwa terbesar sepanjang sejarah. Sebab Quraisy mengakui Nabi, Islam, serta eksistensi dan kekuatan keduanya. Mereka juga menganggap Nabi dan Islam sebagai rival yang sebanding.”
Kaum Badui dan kaum munafiqin pun semakin segan dan takut dengan kekuasaan kaum muslimin. Sebab pada saat berangkat Umrah, mereka menyangka bahwa Muhammad saw. dan shahabatnya tidak akan pulang ke Madinah dengan selamat. Ternyata, mereka kembali ke Madinah dengan mendapat pengakuan dari Quraisy.
Keempatkematangan kaum muslimin. Sebab dengan peristiwa Hudaibiyah, para shahabat semakin tsiqah dengan pimpinannya, semakin mantab dengan fikrahnya, dan semakin yakin dengan kebersamaan Allah swt. bersama mereka.Kematangan itutergambardi bai’atur ridlwan dan tergambar secara jelas di penghujung Surat Al-Fath,
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath: 29).

Pil Pahit dari Medan Uhud

Langit
Oleh: Hepi Andi Bastoni
Kemenangan dan kekalahan hanyalah variabel yang menjalankan fungsi bernama seleksi. Dalam putaran itulahAllah memisahkan hamba-Nya yang beriman dan munafik. Kekalahan ibarat perasan untuk memisahkan air gula dan serabut tebu. Itu salah satu pelajaran penting dari Perang Uhud.
Meski para ulama masih memperdebatkan kekalahan umat Islam di medan Uhud, namun jika dilihat dari ‘skor pertandingan’ itu, korban di kalangan umat Islam jauh lebih banyak. Menurut Ibnu Hisyam jumlah yang terbunuh dari kaum Muslimin pada perang Uhud mencapai 70 orang. Hal ini sesuai dengan riwayat Bukhari dan Tirmidzi dari Ubay bin Ka’ab. Adapun jumlah yang gugur dari kaum musyrikin sebanyak dua puluh dua orang.[1]
Kekalahan itu benar-benar telak. Yang membuat dada kaum kaum Muslimin amat menyesak adalah lantaran kekalahan itu tak perlu dianalisa oleh kalangan ilmuan. Kekalahan itu benar-benar nyata akibat ‘pembangkangan’ atas nasihat Nabi saw. Beliau menginstruksikan kepada 50 pasukan panah pimpinan Abdullah bin Jubair agar tetap berada di lereng bukit Rumat apa pun yang terjadi: kalah atau menang. Namun ketika kemenangan itu hampir berada di depan mata, mereka lalai. Justru yang melalaikan mereka adalah tergiur harta rampasan perang yang sudah diingatkan Allah usai Perang Badar sebelumnya.
Bagi kaum Muslimin, kekalahan itu ibarat obat. Ia ibarat jamu. Pahit memang, tapi mengandung khasiat ampuh yang menyehatkan. Pelajaran itu tak hanya bagi para sahabat Rasulullah saw, tapi juga kaum Muslimin  saat ini.
Di antara pelajaran berharga itu adalah:

1.    Pentingnya Musyawarah
Dalam Perang Uhud ini, tampak jelas Rasulullah saw mengedepankan prin­sip syura. Begitu jelas keberpihakan Rasulullah saw kepada hasil mu­syawarah. Wa­laupun pendapat Rasulullah saw pribadi cenderung menunggu musuh di Ma­dinah, tapi  keputusan awal jualah yang diambil, yaitu menyongsong musuh di luar Madinah.
Ini menunjukkan bahwa suatu masalah yang sudah diputuskan secara syura, tak boleh digugat lagi. Apalagi kalau hal tersebut berkaitan dengan masalah yang menuntut ketegasan dan kepastian sikap. Mereka yang semula tidak setuju, seharusnya mengikuti hasil keputusan syura.
Dalam konteks kekinian, pelajaran ini menjadi penting. Hasil keputusan ra­­pat, tak boleh hanya tertulis di atas kertas dan menjadi dokumen yang akan die­­valuasi pada rapat-rapat yang akan datang. Apalagi kalau keputusan itu ber­­kaitan erat dengan hajat orang banyak yang menuntut pelaksanaan sesegera mungkin.

2.    Bahaya Kaum Munafik
Dalam peperangan ini, orang-orang munafik menunjukkan belangnya. Hal ini juga menjadi pelajaran penting bagi umat Islam. Pembelotan Abdullah bin Ubay dan tiga ratus orang teman-temannya yang merupakan bukti kemunafikan menjadi nyata bagi para sahabat, yang sebelumnya tidak kelihatan. Kekalahan kaum Muslimin di akhir perang, juga membantu memperjelas identitas orang-orang munafik.
Namun, kemunafikan selalu saja ada dalam setiap zaman. Setiap masa se­lalu muncul manusia-manusia “bermuka ganda”. Karenanya, kekalahan kadang  tak hanya berfungsi untuk menguji keimanan, tapi juga membersihkannya dari sifat-sifat nifaq. Kekalahan menjadikan jati diri orang-orang munafik tampak jelas.
Berbagai kekalahan yang saat ini menimpa umat Islam, sesungguhnya menyimpan hikmah tersendiri yang kadang tak disadari. Tragedi demi tragedi melanda kaum Muslimin. Di Afghan umat Islam diburu dan dituduh sebagai pelaku kejahatan. Di Palestina, mereka diusir dari tanah air sendiri. Di Chechnya kaum Muslimin dianggap pemberontak yang harus dibasmi.
Namun di balik segala kekalahan itu, tersimpan hikmah yang sangat ber­man­faat. Umat Islam jadi sadar, mereka punya musuh yang harus dilawan. Se­marak kajian keislaman di Dunia Islam, tak bisa dilepaskan begitu saja ko­relasinya dengan tragedi yang dialami kaum Muslimin di berbagai belahan bumi.

3.    Tak Boleh Minta Bantuan dari Orang Kafir
Dalam perang ini Rasulullah saw tidak meminta bantuan dari orang-orang kafir. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Saad, “Kami tidak akan pernah meminta bantuan dari orang-orang musyrik untuk menghadapi orang-orang musyrik.”
Walaupun secara fisik, jumlah kaum Muslimin  saat itu masih sedikit, tapi Rasulullah saw tidak mau menerima bantuan kaum musyrikin. Ini menunjukkan, dalam menghadapi orang-orang musyrik, kaum Muslimin  tak boleh bekerja sama dengan mereka. Sebab, hal ini akan berdampak pada masa depan kaum Muslimin . Akibatnya akan berbalik kepada kaum Muslimin  sendiri. Jika kemenangan bisa diraih, ia bukan hasil murni umat Islam. Dalam Islam antara kebatilan dan kebenaran tak boleh dicampur. Allah  berfirman, “
Namun, sebagian ulama, di antaranya Imam Syafii, membolehkan meminta bantuan dari orang kafir, dengan syarat orang kafir itu mempunyai pandangan yang bagus dan jujur.[2]

4.    Kecanggihan Strategi Perang Rasulullah saw
Tak bisa dipungkiri, strategi perang yang dipraktikkan Rasulullah saw dalam Perang Uhud sungguh luar biasa. Penempatan pasukan panah dan pengaturan pasukan sedemikian rupa, benar-benar merupakan benteng pertahanan se­ka­li­gus strategi canggih untuk mengalahkan lawan. Kepiawaian Khalid bin Walid, Abu Sufyan bin Harb dan para tokoh Quraisy menemukan batunya. Jumlah me­­re­ka yang tiga kali lebih banyak dari jumlah kaum Muslimin , tak bisa  berbuat banyak. Kalau bukan karena kelalaian pasukan panah yang melalaikan instruksi Rasulullah saw, hampir dapat dipastikan kemenangan akan berada di pihak kaum Muslimin .
Kecanggihan Rasulullah saw mengatur strategi tak hanya nyata dalam Perang Uhud. Sebelumnya, ketika hijrah ke Madinah dan dikejar oleh kafir Qu­rai­sy, Rasulullah saw juga menunjukkan kematangan strateginya. Beliau tahu musuh akan mengejarnya ke arah Madinah. Karenanya, bersama Abu Bakar, Ra­sulullah saw berbalik ke arah selatan yang berlawanan dengan arah Madinah, dan selanjutnya bersembunyi di Gua Tsur.
Kecanggihan mengatur strategi inilah yang mesti diteladani kaum Muslimin. Ibarat permainan asah otak, umat Islam harus berpikir tiga langkah ke depan, dan harus pandai-pandai membaca siasat lawan. Berbagai strategi yang dipraktikkan Rasulullah saw ini sangat tampak pada pasca Perang Uhud. Be­liau berhasil mengembalikan wibawa kaum Muslimin  yang kalah. Bahkan, ia mam­­pu membuat pasif musuh-musuhnya dalam waktu yang bisa dia perhi­tung­kan.

5.    Kesalahan Kecil Berakibat Fatal
Jika kita perhatikan rentetan peristiwa dalam Perang Uhud ini, kita dapat menarik sebuah kaidah “tingkat ketaatan kaum Muslimin  terhadap al-Qur’an dan Sunnah berbanding lurus dengan tingkat kekalahan mereka”. Semakin tinggi tingkat kepatuhan mereka, semakin rendah tingkat kekalahannya. Semakin rendah tingkat kepatuhan mereka, semakin tinggi risiko kekalahannya.
Rasulullah saw sangat mewanti-wanti agar kaum Muslimin  tidak melakukan kesalahan. Sebab, dampaknya tak hanya melanda sang pelaku tapi juga orang lain. Kesalahan yang dilakukan pasukan panah telah menimbulkan bencana tragis yang menimpa banyak orang,  bahkan ikut menimpa Rasulullah saw. Ini adalah hal yang sangat alami.
Bandingkan dengan keadaan kaum Muslimin  saat ini. Manakah yang lebih besar, kesalahan yang dilakukan pasukan pemanah dibandingkan kesalahan yang dilakukan umat Islam pada hari ini dalam berbagai aspek. Allah Maha Penyayang yang masih menjaga kita di tengah menggunungnya kesalahan yang kita lakukan.[3]

Hikmah bagi yang Kalah
Berbeda dengan ayat-ayat Qur’an yang turun setelah Perang Badar yang berisi banyak kritikan, firman Allah yang diwahyukan setelah Perang Uhud justru bersifat hiburan dan sanjungan kepada kaum Muslimin. Begitulah semestinya kita memperlakukan kaum yang kalah. Allah SWT punya cara tersendiri untuk mengajari hamba-Nya bagaimana menghadapi kekalahan. Maka, berbicaralah Allah dalam QS surah Ali Imran: 121-179. Berikut sebagian uraiannya:

1.    Mengembalikan Rasionalitas Umat
Mengawali “komentar-Nya” tentang kekalahan kaum Muslimin  pasca Perang Uhud ini, Allah SWT tidak mengungkit-ungkit peringatan yang pernah diturunkan se­belumnya. Allah mengenyampingkan semua kesalahan kaum Muslimin  itu dan mengalihkan perhatian mereka kepada satu sudut: rasionalitas. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah[4]  Karena itu berjalanlah kamu di permukaan bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul),” (QS Ali Imran: 137).
Dalam ayat ini Allah SWT ingin menghibur kaum Muslimin . Dia ingin mengingatkan tentang  sunnatullah dalam peperangan, bahwa kalah dan menang adalah hal yang wajar. Bagi kaum Muslimin , kalah dan menang bukanlah tujuan. Sebab, kalau Allah berkehendak ia akan memberikan kemenangan kepada kaum yang inginkan dan menimpakan kekalahan kepada mereka yang Dia kehendaki. Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, “Katakanlah, “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki,” (QS Ali Imran: 26).
Di sinilah letak kearifan Allah SWT dalam memahami kondisi hamba-Nya. Ketika dilanda kekalahan, manusia umumnya akan merasa galau, putus asa dan tidak mustahil menyalahkan teman atau mungkin dirinya sendiri. Bahkan, tak sedikit yang kehilangan akal sehat. Karenanya, yang pertama kali disentuh adalah rasionalitas mereka dengan menjelaskan bahwa kekalahan ini adalah hal yang sangat wajar dan telah menimpa umat-umat sebelumnya.
Karena itu, menghadapi berbagai keterpurukan dan kekalahan saat ini, bu­kan saatnya bagi kaum Muslimin  untuk saling menyalahkan dan mencari-cari orang-orang yang bersalah. Kalau tidak, berbagai kekalahan yang dialami umat Islam di beberapa belahan bumi hanya akan membuat putus asa. Akan muncul anggapan, umat Islam akan selalu kalah dan tak berdaya menghadapi musuh. Sebaliknya, umat harus disadarkan bahwa segala yang terjadi atas kehendak Allah, dan apa pun keadaan umat Islam, mereka tetap lebih baik daripada musuhnya jika mereka beriman.
Lebih dari itu, dalam benak umat Islam hendaknya selalu ditanamkan bahwa mereka pasti akan menang. Kemenangan bukan tujuan, tapi sarana meraih ridha Allah.
Allah SWT juga memerintahkan kaum Muslimin  untuk memperhatikan sekitarnya dan banyak belajar dari hukuman yang menimpa orang-orang yang mendustakan para rasul. Allah SWT sengaja menggunakan kata fanzhuruu kaifa kaana ‘aaqibatul mukadzdzibiin.  Allah SWT tidak menggunakan kata fanzhuruu ‘aaqibatal mukadzdzibiin tetapi kaifa kaana untuk menunjukkan “proses akibat” yang menimpa pendustaan orang-orang terdahulu.
Selanjutnya Allah mengingatkan pada ayat berikutnya, “Al-Qur’an ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa,” (QS Ali Imran: 138).
Al-Qur’an adalah penjelas dan penerang (بيان للناس ) bagi manusia secara umum. Dalam penggalan ayat ini Allah menggunakan  للناس  (bagi manusia). Tapi lanjutan ayat Allah menggunakan هدى وموعظة للمتقين (petunjuk dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa).
Maksudnya, al-Qur’an merupakan penjelas dan penerang bagi manusia semesta, namun menjadi petunjuk dan pelajaran hanya bagi orang-orang bertakwa.

2.    Memulihkan Kepercayaan Diri Kaum Muslimin
Setelah mengembalikan rasionalitas kaum Muslimin, Allah memulihkan kepercayaan diri mereka dengan firman-Nya: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman,” (QS Ali Imran:139).
Pada ayat ini Allah ingin mengembalikan kepercayaan diri kaum Muslimin . Se­ca­ra psikologi, di antara kemungkinan yang akan melanda orang-orang kalah ada­lah pesimisme. Apalagi kalau melihat kelemahan dirinya dan kebesaran kekuatan lawan. Karena itu, di antara hal yang harus segera dipulihkan bagi orang-orang ka­lah adalah rasa percaya diri. Bahwa bagaimana pun keadaan kaum Muslimin , ba­ik kalah maupun menang, mereka tetap berada pada derajat yang paling tinggi, se­bagai hasil dari keimanan mereka.
Jadi, bagi Allah, kalah dan menang dalam sebuah peperangan tidak penting. Yang penting adalah beriman atau tidak. Rasa percaya diri inilah yang menyebabkan Rasulullah saw dan kaum Muslimin tetap kukuh “menantang” lawan. Tanpa rasa percaya diri ini, tak mungkin Rasulullah saw menyongsong musuh kembali di Hamraul Asad dan menantang pasukan Quraisy. Tanpa rasa percaya diri ini juga tak mungkin berbagai gejolak yang muncul pasca Perang Uhud bisa dipadamkan.
Ketika umat Islam sedang dirundung kekalahan, kepercayaan diri menjadi se­bu­ah keniscayaan untuk ditumbuhkan. Kekuatan dan keangkuhan musuh-musuh Islam ketika menginjak-injak hak asasi kaum Muslimin  jangan sampai membuat kita patah semangat.
Dalam ayat ini juga Allah menjelaskan dua hal: pertama, memberikan semangat, kepercayaan diri, dan menghidupkan kembali gairah kaum Muslimin . Kedua, memberikan hiburan bahwa derajat mereka tetap lebih tinggi.[5]
Menurut Muhammad asy-Syaukani dalam tafsirnya Fathul Qadir, salah satu makna pernyataan ayat “Padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman,” menerangkan bahwa kaum Muslimin  setelah Perang Uhud ini lebih hebat daripada mereka (musuh-musuh kaum Muslimin  pada Perang Uhud) dan orang-orang selain mereka. Buktinya, setelah Perang Uhud, kaum Muslimin  selalu menang.[6]  Ini juga yang dimaksud dengan ungkapan Rasulullah saw setelah perang Khandaq, “Sekarang kitalah yang akan menyerang mereka, bukan mereka yang akan menyerang kita. Kitalah yang akan mendatangi mereka.”[7](Bersambung pada tulisan berikutnya:
Hikmah Ilahiyah bagi yang Kalah: Belajar dari Perang Uhud)

[1]Ibnu Hisyam: II/122-129, Fathul Bari: VII/351
[2]Fiqhus Sirah, Muhammad Said Ramadhan al-Buthi 224.
[3]Fiqhus Sirah, Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, 227-228.
[4]Ibnu Katsir menyebutkan, hal ini (kekalahan) telah juga menimpa para pengikut para Nabi sebelumnya. Akibatnya bagi mereka, dan bergulir juga atas orang kafir, Tafsir Ibnu Katsir, II/409.
[5]Zaadul Maad, II/100
[6]Fathul Qadir, I/484
[7]HR Bukhari  I:411, Kitab Maghazi II, 590

Ghanimah Badar yang Sebenarnya

A1Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
Perang Badar menyisakan hikmah yang sangat berharga. Bukan hanya harta rampasan yang berlimpah, tapi pelajaran yang sarat makna.
Sambil terus mengayunkan senjatanya, Abdurahman bin Auf melirik kiri kanan. Ia merasa ada dua anak kecil yang terus berada di sisinya. Tiba-tiba salah seorang dari kedua anak kecil itu mendekati Abdurahman dan bertanya, “Paman, tunjukkan kepadaku mana yang namanya Abu Jahal!”
“Apa yang akan engkau lakukan?” tanya Abdurahman.
“Saya mendengar ia telah menghina Rasulullah. Demi Allah yang jiwaku berada di tangannya, jika melihatnya, aku akan membunuhnya atau aku mati terbunuh,” ujar anak kecil itu.
Abdurahman segera menunjuk ke arah salah seorang laki-laki yang sedang bertempur di tengah medan Badar. Seketika itu juga dua anak kecil yang ternyata bernama Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muawwadz bin Afra’ segera menghambur ke depan. Saat itu, Abu Jahal sedang dikelilingi oleh para pendukungnya. Muadz segera melompat dan menyabetkan pedangnya ke arah kaki Abu Jahal sampai putus. Namun, dari arah berlawanan senjata Ikrimah, anak Abu Jahal, berkelebat menyambar lengan Muadz. Lengan itu bergelantungan hampir putus. Merasa terganggu dengan keadaannya, Muadz menginjak lengannya dan menariknya hingga putus. Sementara itu, Muawwadz bin Afra’ terus memburu Abu Jahal dan berhasil membunuhnya. Muawwadz sendiri terus berperang hingga gugur. Sedangkan Muadz bin Amr bin Jamuh tetap hidup hingga masa pemerintahan Utsman bin Affan.
Tewasnya Abu Jahal membuat nyali kafir Quraisy Makkah surut. Mereka mulai berlarian kocar-kacir meninggalkan harta yang mereka bawa di medan perang. Seperti diriwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal, melihat kekalahan lawan, sebagian tentara kaum Muslimin sibuk mengumpulkan harta rampasan untuk diambil. Sebagian lagi sibuk melindungi Rasulullah saw dari serangan musuh.
Setelah peperangan usai, mereka yang mengumpulkan harta rampasan perang berkata, “Kami yang mengumpulkannya, dan tidak seorang pun berhak menerima bagiannya.” Sedangkan mereka yang mengejar musuh juga berkata, “Kalian tidak lebih berhak daripada kami. Kamilah yang merampasnya dari musuh dan kami juga yang mengalahkannya.” Mereka yang bertugas menjaga Rasulullah saw juga berkata, “Kami khawatir Rasulullah saw akan diserang musuh karenanya kami menjaganya.”
Sempat terjadi perdebatan di kalangan mereka dalam memperebutkan ghanimah Badar. Lalu, Allah menurunkan firman-Nya, “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, “Harta rampasan perang itu milik Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan sesama kalian. Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian orang-orang yang beriman,” (QS al-Anfal: 1).
Mengomentari kemenangan kaum MusIimin pada perang Badar ini, Allah menurunkan surah al-Anfal. Menurut Ibnu Ishaq seperti dikutip Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya, setelah permasalahan Perang Badar tuntas, Allah menurunkan seluruh surah al-Anfal tentang perang Badar. Dengan demikian, surah yang terdiri dari 75 ayat ini adalah surah Madaniyah.
Namun ada juga yang berpendapat bahwa ayat 30 sampai 36 turun di Makkah. Dalilnya karena ayat-ayat itu berbicara tentang hal-hal yang terjadi di Makkah sebelum Nabi saw hijrah. Namun banyak ahli tafsir yang menentang pendapat ini. Di antaranya Ibnu Katsir. Menurutnya, riwayat yang menjelaskan tentang itu dhaif (Ibnu Katsir II/285).
Perselisihan para sahabat berkenaan dengan kasus harta rampasan tersebut sebenarnya sangat bisa dijelaskan. Terjadinya peristiwa itu merupakan hal yang logis. Kemenangan di medan Badar adalah kemenangan pertama yang menghasilkan harta rampasan perang yang cukup banyak.
Para sahabat mengetahui bahwa ghanimah adalah salah satu kekhususan umat Islam. Seperti yang disebutkan Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah-nya, ghanimah tidak dihalalkan bagi umat sebelumnya. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku diberikan lima hal yang tidak pernah diberikan kepada Nabi manapun sebelumku. (Yaitu), aku ditolong di saat mengalami keguncangan sepanjang perjalanan sebulan, dijadikan bagiku tanah sebagai tempat sujud , dan bersuci di mana pun umatku mendapatkan waktu shalat, dihalalkan bagiku ghanimah yang tidak pernah dihalalkan kepada seorang (Nabi pun) sebelumku, diberikan kepadaku syafaat, dan aku diutus untuk seluruh manusia.”
Dalam hadits lain Rasulullah saw menegaskan alasan dihalalkannya ghanimah bagi kaum Muslimin, “Tidak pernah dihalalkan ghanimah kepada seorang pun sebelum kita, karena Allah menyayangi kita, maka Dia menjadikannya barang baik buat kita,” (HR Bukhari Muslim).
Karenanya, sangat wajar jika para sahabat kala itu berbeda pendapat mengenai harta rampasan perang. Sebab, belum ada ketentuan jelas mengenai pembagiannya. (Fiqhus Sunnah III/172-174).
Muhammad al-Ghazali melihat hal ini dari sisi lain. Percekcokan itu memang patut disesalkan. Namun hal itu dapat dimengerti mengingat kehidupan kaum Muhajirin dan Anshar sama-sama menderita. Ketika akan berangkat ke Badar, Rasulullah saw melihat sendiri kekurangan mereka. Jika kekurangan makan dan pakaian berlarut akan berpengaruh buruk pada kehidupan mental, dan bisa membuat pikiran menjadi sempit. Namun, orang mukmin tidak akan tergoyah dan tetap bertahan. Karenanya Allah mengistilahkan ghanimah dengan balaaun hasanah (ujian yang baik). Tanda-tanda bahwa harta rampasan perang ini merupakan ujian mulai nyata pada perang Badar, dan terlihat jelas sekali pada perang Uhud.
Ada perbedaan mendasar antara ayat-ayat al-Qur’an yang turun pasca perang Uhud dengan firman-firman Allah yang turun setelah perang Badar. Ini bisa dimaklumi karena situasinya memang berbeda. Pada perang Badar, kaum Muslimin meraih kemenangan gemilang. Sedangkan pada perang Uhud mereka dilanda kekalahan cukup telak.
Umumnya, ketika sebuah pasukan perang kembali dengan membawa kemenangan, mereka akan disambut dengan aneka macam pujian dan sanjungan. Berbagai penghargaan dan hadiah akan “dikalungkan” di leher mereka. Sungguh berbeda dengan komentar ilahiyah yang turun pasca perang Badar. Beberapa ayat yang turun justru tak banyak yang memberikan sanjungan, tapi sarat dengan kritik dan anjuran untuk berbenah.
Di sinilah Allah ingin memberikan pelajaran berharga bagi kaum muslimin. Bahwa orang yang menang tak selalu harus mendapat sanjungan setinggi langit, dan orang yang kalah semestinya jangan dikritik habis-habisan. Sebab, sanjungan kerap membuat orang lupa diri dan sombong. Sedangkan kritikan tak jarang membuat orang patah semangat dan putus asa.
Orang menang tak memerlukan sanjungan, “jilatan” dan pujian. Mereka memerlukan kritikan. Surah al-Anfal merupakan “komentar ilahi” terhadap perang Badar.  Komentar tersebut sangat berbeda dengan komentar-komentar yang dikemukakan oleh para raja dan panglima setelah meraih kemenangan. Di antara pelajaran penting yang diisyaratkan Allah melalui firman-firman-Nya dalam al-Quran antara lain:
Pertama, Allah mengalihkan pandangan kaum Muslimin untuk melihat segala kekurangan akhlak yang masih ada pada diri mereka agar berupaya menyempurnakan dan membersihkannya dari kekurangan-kekurangan tersebut. Hal ini tertuang dalam firman-Nya dalam surah al-Anfal ayat 2 sampai 4.
Kedua, Allah memuji segala hal yang ada dalam kemenangan tersebut berupa pertolongan Allah secara gaib kepada kaum Muslimin.  Tujuannya agar, kaum MusIimin tak terpedaya dengan keberanian sehingga jiwa mereka jadi sombong. Sebaliknya, diharapkan agar mereka bertawakkal kepada Allah, menaati-Nya, dan menaati Rasulullah-Nya saw.
Ketiga, Allah menjelaskan tujuan mulia yang melandasi Rasulullah saw terjun dalam peperangan berdarah tersebut; dan menunjukan kepada mereka sifat-sifat akhlak yang dapat menyebabkan kemenangan dalam peperangan.
Setelah itu, al-Qur’an berbicara kepada kaum musyrikin, orang-orang munafiq, orang-orang Yahudi, dan para tawanan perang. Menasihati mereka secara baik, dan membimbing mereka untuk tunduk kepada kebenaran.
Selanjutnya, al-Qur’an berbicara kepada kaum Muslimin seputar masalah rampasan perang, dan menetapkan prinsip-prinsip masalah tersebut kepada mereka.
Setelah itu, dijelaskan juga undang-undang peperangan dan perdamaian yang sangat mereka butuhkan setelah dakwah Islam memasuki fase tersebut, sehingga peperangan kaum Muslimin berbeda dengan peperangan orang-orang jahiliyah; kaum Muslimin memiliki kelebihan dalam hal akhlaq dan nilai; dan menegaskan kepada dunia bahwa Islam bukan sekedar teori, namun juga mendidik penganutnya secara praktis di atas asas dan prinsip yang di serukannya.
Kemudian, menetapkan beberapa ketentuan dari undang-undang negara Islam yang menjelaskan tentang perbedaan kaum Muslimin yang tinggal dalam batas negara Islam dan kaum Muslimin yang tinggal di luar batas negara Islam.
Membangun Kekompakan
Ketika membicarakan sebab Perang Badar, ada kesalahan yang sering dilakukan sebagian para penulis. Mereka menganggap kaum Musliminlah yang mulai menabuh genderang perang Badar. Pendapat ini tentu bukan tanpa beralasan. Menurut mereka, kaum musliminlah yang memulai melakukan serangan terhadap kafilah kafir Quraisy. Biasanya, para penulis sirahakan memberikan pembelaaan: karena kafir Quraisy telah merampas harta benda kaum Muslimin dan mengusir mereka dari Makkah. Tindakan kaum Muslimin menyerang musuh, dalam rangka menuntut kembali hak mereka.
Seperti diungkap Munir Muhamad Ghadhban dalam Manhaj Haraki-nya, kesalahan gambaran ini disebabkan para penulis mengandalkan Sirah Ibnu Hisyam saja sebagai rujukan. Padahal, jika dirunut dari berbagai kitab shahih lainnya semisal kutubus sittah (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, dan Sunan Ibnu Majah), maka sejarah akan berbicara lain.
Abu Daud dalam Sunan-nya menyebutkan bahwa sebelum perang Badar, orang-orang Quraisy pernah mengirimkan dua surat ancaman yang ditujukan pada Abdullah bin Ubay bin Salul dan kepada kaum Muhajirin. Kepada Abdullah bin Ubay mereka menulis, “Kalian telah melindungi sahabat kami (maksudnya kaum Muhajirin), dan kami bersumpah atas nama Allah agar kalian mengusir mereka. Atau kami akan mengerahkan seluruh kekuatan kami untuk membunuh prajurit kalian dan menawan wanita-wanita kalian.”
Selain itu, kafir Quraisy juga menulis surat kepada kaum Muhajirin yang bunyinya, “Kalian jangan berbangga dulu karena berhasil meninggalkan kami menuju Yatsrib (Madinah). Kami akan datang untuk memberangus kalian semua dan menghancurkan ladang-ladang di tengah negeri kalian sendiri.”
Mendapatkan surat itu, Abdullah bin Ubay segera mengumpulkan teman-temannya. Ia bergegas mencari Rasulullah saw dan para sahabatnya dari Makkah. Abdullah bin Ubay adalah orang yang akan dicalonkan sebagai pemimpin di Madinah. Karenanya, kedatangan Nabi Muhammad saw yang disegani oleh penduduk Madinah membuatnya menaruh dendam. Setiap kali Rasulullah saw membaca al-Qur’an dan mengajaknya masuk Islam, Abdullah bin Ubay selalu menjawab dengan cemoohan, “Wahai Muhammad, tak adakah kata-kata yang lebih bagus dari kata-katamu itu? Lebih baik, engkau duduk di rumahmu. Jika ada yang datang sampaikan kata-katamu itu. Jangan memberatkan dirimu dengan mendatangi orang lain dan menyampaikan apa yang tidak mereka sukai.”
Begitulah. Setiap kali Rasulullah saw datang menemuinya, Abdullah bin Ubay selalu menutup telinga dan memandang sinis kepada beliau. Surat “ancaman” dari kafir Quraisy seolah menambah darah segar bagi Abdullah bin Ubay untuk semakin memusuhi Nabi. Keimanan beberapa orang pengikut Rasulullah saw sempat goyang dan mereka mulai bergabung dengan Abdullah bin Ubay. Pertikaian antar kelompok seperti yang pernah terjadi sebelumnya, hampir kembali meletus. Bahkan, kaum Muhajirin dan sebagian kaum Anshar yang keimanannya sudah kokoh juga ikut terpancing dan hampir menyerang Abdullah bin Ubay dan teman-temannya. Mereka tidak sadar, bahaya sebenarnya bukan yang ada di depan mata, tapi dari kafir Quraisy.
Dalam keadaan demikian, peranan fiqih politik Rasulullah saw sangat menentukan. Beliau segera mendatangi kedua kelompok yang hampir bertikai seraya bersabda, “Telah sampai kepadaku ancaman dari kafir Quraisy. Ternyata rencana jahat mereka tidak sebesar rencana jahat kalian terhadap diri kalian sendiri. Kalian ingin memerangi saudara dan anak kalian sendiri.”
Sejenak kita renungi ungkapan Rasulullah saw itu. Di tengah kecamuk dendam, konflik antar suku dan tekanan pihak luar, Rasulullah saw berhasil meredam semuanya. Beliau berhasil meredam emosi yang meledak-ledak tanpa menunjukkan keberpihakannya pada satu kelompok. Rasulullah saw mampu mengembalikan konsentrasi para sahabatnya, khususnya kaum Anshar untuk memusatkan perhatian hanya pada satu titik: ancaman dari kafir Quraisy. Kemarahan yang meledak terhadap Abdullah bin Ubay bisa diredam. Bahkan lebih dari itu, dengan kalimatnya, “Telah sampai kepadaku ancaman dari kafir Quraisy,” Rasulullah saw mampu mengikat Abdullah bin Ubay dan kawan-kawannya untuk bersatu melawan kafir Quraisy.
Dengan kata-katanya itu, Rasulullah saw berhasil membangun satu kekompakan untuk melawan musuh dari luar dalam rangka menyelamatkan Madinah. Yang disentuh Rasulullah saw adalah jiwa kebangsaan, jiwa cinta tanah air, jiwa nasionalisme dan jiwa patriotisme. Seandainya Rasulullah saw mengajak mereka atas nama Islam, tentu para pemuja berhala di Madinah itu tidak akan mau bergabung. Bahkan tak mustahil keperpihakan mereka kepada kafir Quraisy semakin besar. Apalagi kaum musyrikin di Madinah mempunyai hubungan erat dan kepentingan dengan kaum kafir Makkah. Di kota itu ada Ka’bah dan Maqam Ibrahim yang selalu mereka kunjungi.
Tapi tidak. Rasulullah saw menyeru mereka bukan atas nama Islam, tapi atas nama Madinah. Dengan demikian, yang memanggul senjata menghadapi kafir Quraisy bukan kaum Muslimin saja, tapi seluruh penduduk Madinah. Rasulullah saw berhasil membuat kelompok yang hampir bertikai bersatu kembali lantaran sama-sama merasa eksistensi mereka terancam.
Strategi politik seperti inilah yang harus dipraktikkan kaum Muslimin saat ini. Kaum Muslimin harus mampu memilih, lalu menentukan mana musuh yang harus ditaklukkan lebih dulu. Harus ada skala prioritas. Jangan sampai tenaga dan  energi habis untuk menghadapi musuh yang bukan sebenarnya.
Strategi ini justru sangat dibutuhkan ketika kaum Muslimin hidup berdampingan dengan beragam kelompok, paartai dan aliran. Benar, Abdullah bin Ubay, Yahudi Bani Nadhir, Qainuqa’ dan Quraizhah adalah musuh. Musuh yang sebenar-benarnya. Tapi, ada saatnya untuk “menghabisi” mereka. Ada waktunya untuk memberikan pilihan kepada orang Yahudi: mau masuk Islam atau meninggalkan Madinah. Saatnya itu tiba setelah perang Khandaq selesai ketika ancaman dari kafir Quraisy sudah bisa diatasi. Bani Quraizhah yang berkhianat, dieksekusi hingga ke akar-akarnya. Saat itu tiba ketika Perjanjian Hudaibiyah ditanda-tangani. Bani Nadhir di Khaibar dilumpuhkan hingga tak berkutik.
Kalau sikap Rasulullah saw terhadap non-Islam seperti itu, bagaimana sikap kita terhadap gerakan Islam yang hanya beda metode, cara dan strategi dakwah? Tentu harus lebih kompromistis, bersahabat dan memahami perbedaan dengan tanpa meninggalkan jati diri sebenarnya. Apalagi kalau tujuannya sama. Tak ada alasan bagi kaum Muslimin untuk berpecah. Yang diperlukan saat ini adalah membangun perlawanan bersama untuk menumbangkan musuh yang sebenarnya. Bukan malah bertikai sendiri seperti yang disindir Rasulullah saw dalam ungkapannya, “Ternyata rencana jahat mereka tidak sebesar rencana jahat kalian terhadap diri kalian sendiri. Kalian ingin memerangi saudara dan anak kalian sendiri.”
Strategi ini justru sangat dibutuhkan ketika dakwah sudah merambah arena politik. Segala sesuatu tak bisa diputuskan dengan hitam putih. Para politikus mesti mahir menggunakan kata-kata. Sebaliknya, para kader dakwah juga harus bisa memilah mana keputusan politik sebenarnya dan mana yang sekadar permainan kata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar