GHUZWUL FIKRIY (Perang Pemikiran)
Muhammad
Mu’adz
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
”Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka” (al-Baqoroh:120)
”Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka” (al-Baqoroh:120)
Ghazwul fikriy (perang pemikiran) adalah
suatu bab khusus dalam tarbiyah kita yang secara seksama kita pelajari. Hampir
dapat dipastikan tak ada kader dakwah yang tak mengerti maknanya. Akan tetapi,
untuk melibatkan diri di dalamnya, itu lain soal.
Apa yang muncul dalam benak kita ketika nama
ghazwul fikriy disebut? Tidak jarang muncul kesan bahwa umat Islam tengah
dikepung dari segala penjuru, diserang dari segala arah. Penyerangan dilakukan
oleh banyak pihak, mulai dari kaum komunis, kapitalis, atheis, sekularis,
zionis, misionaris dan seterusnya. Tidak sedikit yang lupa bahwa ghazwul fikriy
adalah sebuah peperangan, bukan penyerangan satu arah.
Karena sifatnya yang tidak kasat mata, maka
ghazwul fikriy terlihat begitu menakutkan. Kita bagaikan melangkah ke dalam
ruangan gelap tanpa petunjuk arah apa pun. Di medan perang, musuh yang terlihat
bisa saja ditebas dan manusia dalam keadaan terdesak biasanya tidak berpikir
dua kali untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi, serangan pemikiran biasanya
tidak terlihat, bahkan seringkali tidak terasa, karena ia bukannya menyakiti
tubuh kita, melainkan justru merusak cara berpikir kita, termasuk juga dengan
memanjakan hawa nafsu kita. Jika hawa nafsu sudah memegang kendali, maka
kecerdasan akal pun bisa kehilangan relevansinya. Orang yang tertusuk lembing
atau tertembus peluru bisa merasakan sakit, namun kerusakan pada ‘aqidah bisa
jadi tak terasa, bahkan justru membuat kita terbuai tak berdaya.
Sebetulnya praktek-praktek ghazwul fikriy
jelas ada di depan mata kita setiap hari dan hampir di seluruh aspek kehidupan,
praktek-praktek tersebut sudah mereka lakukan. Pola-pola yang mereka gunakan
sangat beragam dan semuanya dilakukan secara halus dan cantik. Sasaran mereka
juga menyeluruh dari anak-anak sampai orang dewasa, dari kalangan awam sampai
dengan kalangan intelektual. tujuan mereka seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, tidak lagi untuk memurtadkan ummat Islam secara status, tetapi
bagaimana menjadikan karakter, pola pikir, dan sikap memusuhi Islam itu
sendiri. Cara ini lebih srategis karena korban-korban tersebut secara tidak
langsung tidak akan dianggap sebagai musuh Islam. inilah yang disebut
pembusukan dari dalam dan sebetulnya hal ini lebih berbahaya, namun kita tidak
perlu merasa takut mengdadapinya, karena referensi Al-Qur’an dan As-Sunnah
adalah senjata yang lebih dari cukup.
“Jangan jadikan sesuatu yang buruk di anggap
menjadi biasa-biasa saja karena sebuah keburukan akan tetap buruk tidak
relatif mengikuti perspektif seseorang”
Wallahu’alam.
EKONOMI BERBASIS MASJID
-Mumtaazul
‘Ibaad, SEI-
Masjid merupakan tempat untuk mewujudkan ketaatan kepada Allah
swt. Akar kata Masjid adalah ‘tunduk’ dan ‘patuh’, hakikatnya Masjid menjadi
tempat untuk melakukan segala aktivitas yang mengandung kepatuhan kepada Allah
SWT. Dimana dalam Al-Quran ditegaskan bahwa: “Sesungguhnya masjid-masjid itu
adalah milik Allah, maka janganlah kamu menyembah sesuatu di dalamnya selain
Allah”. (QS.Jin {72}:18).
Berkaca pada sejarah peradaban islam, baik di era Rasulullah saw,
Khullafa Rasyidin, Bani Umayah maupun pada era keemasan islam di zaman Bani
Abasiyyah (salah satunya Andalusia/Spanyol), dan Turki Utsmaniyyah, peranan
Masjid sangatlah luas. Bukan hanya sebagai tempat pelaksanaan acara ritual
keagamaan, tapi Masjid juga dijadikan sebagai tempat pembinaan umat islam dan
menjadi institusi sosial yang berperan dalam membangun budaya, pendidikan,
ekonomi dan politik umat (Zubir, 2007). Ketika Rasulullah saw melakukan hijrah
dari Makkah ke Madinah, Masjid menjadi bangunan pertama yang beliau dirikan,
sebelum akhirnya Rasulullah saw mendirikan sekolah, pasar di sekitarnya dan
membangun peradaban dunia ini. Sehingga tempat beliau membangun itu benar-benar
menjadi “Madinah”, (seperti namanya) yang secara harfiah berarti ‘Tempat
Peradaban’. Sedemikian besar fungsi masjid, sehingga jika fungsi ini dapat
diterapkan dalam masyarakat, tentu banyak hal yang dapat diterapkan oleh masjid
dalam rangka memperbaiki keadaan umat.
Kurang berfungsinya masjid secara maksimal diantaranya disebabkan
oleh: Pertama, rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang Masjid
terutama Masjid yang berlokasi di daerah pedesaan. Kedua, perhatian masyarakat
atau pengurus Masjid masih terfokus pada usaha pengadaan sarana fisik seperti
mempercantik bangunan, memperbagus pencahayaan ruangan, dll. Ketiga, Pengurus
Masjid cenderung melakukan kegiatan yang bersifat seremonial dan belum maksimal
melibatkan seluruh jamaah dalam menyukseskan program-program pemberdayaan umat
(Wibowo, 2011).
Berdasarkan data yang dirilis oleh kementrian Agama, jumlah Masjid
sampai saat ini terus meningkat. Tahun 2008 jumlah Masjid mencapai 109.094
meningkat sebesar 35% menjadi 147.499 Masjid. Kemudian di tahun 2010 meningkat
sebesar 64% menjadi 243.199 Masjid, dan sampai September 2013 meningkat dengan
prosentase 70,6% (Kemenag, 2008-2013). Di satu sisi, sebagaimana kita ketahui
bahwa permasalahan umat saat ini adalah kemiskinan dan pengangguran. Meskipun
per Maret 2013, prosentase tingkat pengangguran dan kemiskinan telah turun dari
tahun lalu 5,92% dan 11,66% (BPS, 2013), masalah pengangguran dan kemiskinan
tetap menjadi masalah serius umat ini. Salah satu solusinya adalah dengan
digalakkannya berbagai kegiatan berwawasan kewirausahaan berbasis Masjid /The
Economic based on Mosque (Wibowo, 2011).
Abdul hasan sadeq (1998:22) dalam bukunya “Economic Development in
Islam”, mengemukakan bahwa terdapat dua cara transfer sumberdaya ekonomi umat:
Pertama, secara komersil yang terjadi melalui aktivitas ekonomi. Kedua, secara
sosial dalam bentuk bantuan zakat, infaq dan shadaqoh. Adanya dua transfer
sumberdaya ekonomi ini merupakan potensi umat, karena tidak semua orang mampu
melakukan proses dan aktivitas ekonomi. Dalam hal ini, menurut Ibnu Khaldun
dalam karya Muqaddimah telah mengatakan “Ekonomi adalah tiang dan pilar paling
penting untuk membangun peradaban Islam (Imarah). Tanpa kemapanan Ekonomi,
kejayaan Islam sulit dicapai bahkan tak mungkin diwujudkan.
Secara kontekstual, Masjid seharusnya dapat berperan dalam
mengumpulkan, mengelola dan menyalurkan seluruh dana sosial. Tidak hanya infaq
dan zakat fitrah ‘musiman’ saja, namun juga zakat penghasilan, pertanian,
perniagaan, dan perusahaan. Selanjutnya, dana tersebut dikelola secara
professional dan dialokasikan dalam strategi penggunaan dana sosial untuk
kegiatan ekonomi berbasis Masjid. Diantaranya adalah: Pertama, pengelolaan
Masjid dengan SDM yang professional seperti Masjid Agung Al-Azhar. Secara
teknis Al-Azhar membentuk ‘Yayasan’ yang selanjutnya membentuk badan-badan
hukum baru untuk bekerja sebagai Strategic Business Unit (SBU) Masjid. SBU
tersebut menangani bermacam kegiatan khusus, seperti pendidikan Al-Azhar dari
jenjang TK, SD, SMP, SMA dan sampai menjadi Universitas Al-Azhar. Setiap unit
bekerja independen, dan masing-masing memperoleh wewenang.
Kedua, Masjid melakukan kerjasama dengan lembaga lainnya, seperti
kerjasama Masjid di desa Sidaurip, Cilacap, Jawa Tengah yang bekerjasama dengan
Yayasan Baitul Maal (YBM) BRI. Dalam tahap awal, YBM BRI memberikan dana
sebesar Rp.30 juta untuk peternakan kambing. Diberikan kepada 10 orang jamaah.
Masing-masing 3 juta rupiah untuk dibelikan 3 ekor kambing. Jamaah penerima
bantuan tersebut direkomendasikan oleh pengurus masjid. Sehingga akurasinya
terjamin dan tepat sasaran. YBM BRI membuat ketentuan bagi peternak kambing.
Setelah kambing terjual, modal utama wajib dibelikan kambing lagi. Tidak boleh
dihabiskan untuk kepentingan lain. Sedangkan keuntungan yang diperoleh peternak,
tidak boleh diambil sendiri dan harus dibagi dengan prosentase 15 % diinfakkan
untuk pengembangan usaha masjid, 15% untuk operasional masjid, 10% infaq
pendidikan dhuafa di masjid, dan selebihnya, yaitu 60% adalah hak peternak
kambing.
Ketiga, memanfaatkan sarana dan prasarana bangunan Masjid seperti
halnya Masjid At-Tiin dengan membangun bagian yang dapat berfungsi sebagai
fasilitas sosial. ruang khusus pertemuan, pesta perkawinan dan lain sebagainya
dapat di siapkan untuk melayani warga. Dengan memberikan harga yang lebih baik
dan sarana yang memuaskan kepada anggota masyarakat, seluruh kegiatan yang
berada di masjid dapat menutupi biaya pengelolaannya, yang pada waktunya
melalui yayasan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sekitar.
Keberhasilan penanganan program ini dapat membentuk masyarakat
dalam menyelesaikan problematika ekonomi. Sehingga masyarakat dapat hidup
sejahtera dan makmur. Pada gilirannya, Masjid dapat mengubah ‘identitas’
jamaah. Dari seorang Mustahiq, menjadi seorang Muzakki. Program yang disusun
melalui pelibatan ini juga akan menghasilkan program kegiatan bersama. Sehingga
ada rasa memiliki oleh semua pihak, dan muncul rasa bahwa semua diterima
kehadirannya. Masjid bukan hanya menjadi sebuah basis yang eksklusif bagi satu
golongan tetapi menjadi inklusif untuk semua umat. Pelibatan ini juga membuka
peluang untuk bekerja sama dengan berbagai stakeholder yaitu masyarakat, remaja
masjid, dan juga organisasi islam, termasuk pemerintah, swasta, dan media
Cita-cita besar ini merupakan suatu yang sangat historis dan
sesuai dengan konteks agama ini. Karena masyarakat muslim tidak akan terbentuk
secara kokoh dan rapih kecuali dengan adanya komitmen terhadap sistem, aqidah
dan tatanan syariat islam.
Wallahu’alam
Wallahu’alam
Politik dan Sejarah
M Anis Matta
POLITIK bisa punya banyak
makna dan kebanyakan dari pemaknaan itu bertalian dengan kekuasaan. Tidak
salah, tetapi saya ingin membahas politik dari sudut pandang yang berbeda. Saya
ingin memahami politik sebagai ”industri” pemikiran.Sebagai bursa
pemikiran, politik bertugas memberi arah bagi kehidupan masyarakat. Politik
terancam gagal jika masyarakatnya mengalami rasa kehilangan arah yang dituju
(sense of direction). Hilangnya sense of direction tersebut tampak dari suasana
hati publik (public mood) yang diwarnai kemarahan dan kecemasan kolektif,
menggantikan kepercayaan dan harapan kolektif mereka.
Agar dapat menjalankan tugas memberi arah itu, politik—dalam arti
kehidupan politik secara keseluruhan—harus mampu memahami, merekam, dan
menangkap perubahan fundamental yang terjadi di tengah masyarakat serta memberi
arah yang benar bagi perubahan itu.
Jika kita melihat rentang sejarah, dinamika perubahan sosial
merupakan interaksi empat elemen: manusia, ide, ruang, dan waktu. Manusia
adalah pusat perubahan karena merupakan pelaku atau aktor di mana ruang dan
waktu merupakan panggung pertunjukannya. Ide jadi penggerak manusia dalam
seluruh ruang dan waktunya. Setiap kali ada perubahan yang penting dalam
ide-ide manusia, kita akan menyaksikan perubahan besar dalam masyarakat
mengikutinya.
Manusia bergerak dalam ruang dan waktu secara dialektis, antara
tantangan dan respons terhadap tantangan tersebut. Ide atau gagasan yang
memenuhi benak manusia merupakan manifestasi dari dinamika dialektis itu. Hidup
manusia bergerak dan terus bertumbuh karena merespons tantangan di
sekelilingnya. Hasil dari respons baru tersebut selanjutnya melahirkan
tantangan-tantangan baru yang menuntut respons-respons baru. Begitu seterusnya.
Dalam perspektif itulah, politik bertemu dengan sejarah. Sejarah
adalah cerita tentang manusia di tengah seluruh ruangnya dalam rentang waktu
yang panjang. Sejarah adalah cerita tentang tiga orang: orang yang sudah
meninggal, orang yang masih hidup, dan orang yang akan lahir. Jika politik
ingin memahami drama perubahan sosial secara komprehensif, politik harus
memahami cerita tentang tiga orang itu. Politik menjadi dangkal jika ia hanya
memahami cerita tentang satu orang, yaitu orang yang masih hidup. Itu adalah
jebakan kekinian, di mana kita tampak seperti telah menyelesaikan masalah hari
ini ketika sebenarnya yang kita lakukan justru memindahkan beban masalah itu
kepada generasi yang akan lahir esok hari.
Berpijak pada sejarahJika sejarah adalah cerita tentang hari
kemarin, hari ini, dan hari esok, sejarah bukan saja metode untuk memahami masa
lalu dan masa kini, melainkan juga menjadi jalan paling efektif menemukan
alasan untuk tetap berharap bahwa esok hari cerita hidup kita akan lebih baik.
Membaca sejarah adalah cara menemukan harapan. Harapanlah
yang membuat kita rela dan berani melakukan kebajikan-kebajikan hari ini
walaupun buah kebajikan itu akan dipetik mereka yang baru akan lahir esok hari.
Tugas politik adalah memberi arah bagi kehidupan masyarakat agar mereka merasa
memiliki satu arah yang dituju, memiliki orientasi. Rasa memiliki arah ini
merupakan sumber kepercayaan diri dan harapan yang kuat bagi masa depan.
Sebaliknya, chaos dan anomi membuat orang merasa tersesat
dan limbung. Untuk dapat menemukan arah itulah, kehidupan politik harus
berpijak pada sejarah. Berpijak pada sejarah tidak berarti melulu melihat ke
belakang atau memuja kejayaan masa lalu; berpijak pada sejarah harus dimaknai
sebagai keyakinan merancang masa depan.
Muatan sejarah menghindarkan politik dari kedangkalan dan
membawanya pada kedalaman kesadaran. Dengan memahami sejarah, politik akan
bergeser dari pandangan sempit sekadar berebut kekuasaan menuju keluasan
cakrawala pemikiran, dari sekadar perdebatan mengurusi kenegaraan menjadi
perbincangan arsitektur peradaban.
Pertanyaan yang segera menghadang kita adalah apa yang akan
terjadi pada Pemilu 2014? Apakah pesta demokrasi tahun depan itu sekadar
menjadi ajang peralihan kekuasaan secara damai, sesuatu yang business as usual
di dalam demokrasi?
Pemilu 2014 adalah momentum peralihan sejarah yang didorong
oleh perubahan struktur demografis Indonesia. Penduduk berusia 45 tahun
ke bawah mencapai sekitar 60 persen dari populasi. Bukan sekadar mendominasi
dari segi jumlah, kelompok ini bercirikan pendidikan yang tinggi, kesejahteraan
yang membaik, dan terkoneksi dengan dunia luar melalui internet. Kita juga
menyaksikan lahirnya native democracy, yaitu mereka yang sejak lahir hanya
mengenal demokrasi. Pemilih pemula yang berusia 17 tahun pada 2014 adalah
mereka yang lahir pada 1997. Mereka tidak merasakan perbedaan suasana otoriter
pada masa Orde Baru dengan kebebasan pada masa kini. Bagi mereka, demokrasi dan
kebebasan adalah sesuatu yang terberi (given) dan bukan hasil perjuangan
berdarah-darah.
Mayoritas baru ini memerlukan jawaban baru dari partai politik.
Ada hal-hal yang akan dianggap usang. Mereka ingin melihat visi dan agenda
baru. Untuk menjawab tantangan itu, politik harus bisa mendefinisikan di mana
kita berada sebagai sebuah bangsa dan sebuah entitas peradaban sekarang ini.
Sejumlah gelombang sejarah telah kita lalui sebagai negara-bangsa dan banyak
pelajaran penting yang dapat kita sarikan. Pertanyaan mendasar ini
menghindarkan kita dari jebakan kedangkalan politik. Sejarah adalah
kompas bagi politik dalam mengarungi masa yang akan datang.