Senin, 09 Desember 2013


GHUZWUL FIKRIY (Perang Pemikiran)
Muhammad Mu’adz


وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
”Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka” (al-Baqoroh:120)

Ghazwul fikriy (perang pemikiran) adalah suatu bab khusus dalam tarbiyah kita yang secara seksama kita pelajari. Hampir dapat dipastikan tak ada kader dakwah yang tak mengerti maknanya. Akan tetapi, untuk melibatkan diri di dalamnya, itu lain soal.

Apa yang muncul dalam benak kita ketika nama ghazwul fikriy disebut? Tidak jarang muncul kesan bahwa umat Islam tengah dikepung dari segala penjuru, diserang dari segala arah. Penyerangan dilakukan oleh banyak pihak, mulai dari kaum komunis, kapitalis, atheis, sekularis, zionis, misionaris dan seterusnya. Tidak sedikit yang lupa bahwa ghazwul fikriy adalah sebuah peperangan, bukan penyerangan satu arah.

Karena sifatnya yang tidak kasat mata, maka ghazwul fikriy terlihat begitu menakutkan. Kita bagaikan melangkah ke dalam ruangan gelap tanpa petunjuk arah apa pun. Di medan perang, musuh yang terlihat bisa saja ditebas dan manusia dalam keadaan terdesak biasanya tidak berpikir dua kali untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi, serangan pemikiran biasanya tidak terlihat, bahkan seringkali tidak terasa, karena ia bukannya menyakiti tubuh kita, melainkan justru merusak cara berpikir kita, termasuk juga dengan memanjakan hawa nafsu kita. Jika hawa nafsu sudah memegang kendali, maka kecerdasan akal pun bisa kehilangan relevansinya. Orang yang tertusuk lembing atau tertembus peluru bisa merasakan sakit, namun kerusakan pada ‘aqidah bisa jadi tak terasa, bahkan justru membuat kita terbuai tak berdaya.

Sebetulnya praktek-praktek ghazwul fikriy jelas ada di depan mata kita setiap hari dan hampir di seluruh aspek kehidupan, praktek-praktek tersebut sudah mereka lakukan. Pola-pola yang mereka gunakan sangat beragam dan semuanya dilakukan secara halus dan cantik. Sasaran mereka juga menyeluruh dari anak-anak sampai orang dewasa, dari kalangan awam sampai dengan kalangan intelektual. tujuan mereka seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tidak lagi untuk memurtadkan ummat Islam secara status, tetapi bagaimana menjadikan karakter, pola pikir, dan sikap memusuhi Islam itu sendiri. Cara ini lebih srategis karena korban-korban tersebut secara tidak langsung tidak akan dianggap sebagai musuh Islam. inilah yang disebut pembusukan dari dalam dan sebetulnya hal ini lebih berbahaya, namun kita tidak perlu merasa takut mengdadapinya, karena referensi Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah senjata yang lebih dari cukup.

“Jangan jadikan sesuatu yang buruk di anggap menjadi biasa-biasa saja karena sebuah keburukan akan tetap buruk tidak relatif mengikuti perspektif seseorang”


Wallahu’alam.





EKONOMI BERBASIS MASJID
-Mumtaazul ‘Ibaad, SEI-

Masjid merupakan tempat untuk mewujudkan ketaatan kepada Allah swt. Akar kata Masjid adalah ‘tunduk’ dan ‘patuh’, hakikatnya Masjid menjadi tempat untuk melakukan segala aktivitas yang mengandung kepatuhan kepada Allah SWT. Dimana dalam Al-Quran ditegaskan bahwa: “Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kamu menyembah sesuatu di dalamnya selain Allah”. (QS.Jin {72}:18).
Berkaca pada sejarah peradaban islam, baik di era Rasulullah saw, Khullafa Rasyidin, Bani Umayah maupun pada era keemasan islam di zaman Bani Abasiyyah (salah satunya Andalusia/Spanyol), dan Turki Utsmaniyyah, peranan Masjid sangatlah luas. Bukan hanya sebagai tempat pelaksanaan acara ritual keagamaan, tapi Masjid juga dijadikan sebagai tempat pembinaan umat islam dan menjadi institusi sosial yang berperan dalam membangun budaya, pendidikan, ekonomi dan politik umat (Zubir, 2007). Ketika Rasulullah saw melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah, Masjid menjadi bangunan pertama yang beliau dirikan, sebelum akhirnya Rasulullah saw mendirikan sekolah, pasar di sekitarnya dan membangun peradaban dunia ini. Sehingga tempat beliau membangun itu benar-benar menjadi “Madinah”, (seperti namanya) yang secara harfiah berarti ‘Tempat Peradaban’. Sedemikian besar fungsi masjid, sehingga jika fungsi ini dapat diterapkan dalam masyarakat, tentu banyak hal yang dapat diterapkan oleh masjid dalam rangka memperbaiki keadaan umat.
Kurang berfungsinya masjid secara maksimal diantaranya disebabkan oleh: Pertama, rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang Masjid terutama Masjid yang berlokasi di daerah pedesaan. Kedua, perhatian masyarakat atau pengurus Masjid masih terfokus pada usaha pengadaan sarana fisik seperti mempercantik bangunan, memperbagus pencahayaan ruangan, dll. Ketiga, Pengurus Masjid cenderung melakukan kegiatan yang bersifat seremonial dan belum maksimal melibatkan seluruh jamaah dalam menyukseskan program-program pemberdayaan umat (Wibowo, 2011).
Berdasarkan data yang dirilis oleh kementrian Agama, jumlah Masjid sampai saat ini terus meningkat. Tahun 2008 jumlah Masjid mencapai 109.094 meningkat sebesar 35% menjadi 147.499 Masjid. Kemudian di tahun 2010 meningkat sebesar 64% menjadi 243.199 Masjid, dan sampai September 2013 meningkat dengan prosentase 70,6% (Kemenag, 2008-2013). Di satu sisi, sebagaimana kita ketahui bahwa permasalahan umat saat ini adalah kemiskinan dan pengangguran. Meskipun per Maret 2013, prosentase tingkat pengangguran dan kemiskinan telah turun dari tahun lalu 5,92% dan 11,66% (BPS, 2013), masalah pengangguran dan kemiskinan tetap menjadi masalah serius umat ini. Salah satu solusinya adalah dengan digalakkannya berbagai kegiatan berwawasan kewirausahaan berbasis Masjid /The Economic based on Mosque (Wibowo, 2011).
Abdul hasan sadeq (1998:22) dalam bukunya “Economic Development in Islam”, mengemukakan bahwa terdapat dua cara transfer sumberdaya ekonomi umat: Pertama, secara komersil yang terjadi melalui aktivitas ekonomi. Kedua, secara sosial dalam bentuk bantuan zakat, infaq dan shadaqoh. Adanya dua transfer sumberdaya ekonomi ini merupakan potensi umat, karena tidak semua orang mampu melakukan proses dan aktivitas ekonomi. Dalam hal ini, menurut Ibnu Khaldun dalam karya Muqaddimah telah mengatakan “Ekonomi adalah tiang dan pilar paling penting untuk membangun peradaban Islam (Imarah). Tanpa kemapanan Ekonomi, kejayaan Islam sulit dicapai bahkan tak mungkin diwujudkan.
Secara kontekstual, Masjid seharusnya dapat berperan dalam mengumpulkan, mengelola dan menyalurkan seluruh dana sosial. Tidak hanya infaq dan zakat fitrah ‘musiman’ saja, namun juga zakat penghasilan, pertanian, perniagaan, dan perusahaan. Selanjutnya, dana tersebut dikelola secara professional dan dialokasikan dalam strategi penggunaan dana sosial untuk kegiatan ekonomi berbasis Masjid. Diantaranya adalah: Pertama, pengelolaan Masjid dengan SDM yang professional seperti Masjid Agung Al-Azhar. Secara teknis Al-Azhar membentuk ‘Yayasan’ yang selanjutnya membentuk badan-badan hukum baru untuk bekerja sebagai Strategic Business Unit (SBU) Masjid. SBU tersebut menangani bermacam kegiatan khusus, seperti pendidikan Al-Azhar dari jenjang TK, SD, SMP, SMA dan sampai menjadi Universitas Al-Azhar. Setiap unit bekerja independen, dan masing-masing memperoleh wewenang.
Kedua, Masjid melakukan kerjasama dengan lembaga lainnya, seperti kerjasama Masjid di desa Sidaurip, Cilacap, Jawa Tengah yang bekerjasama dengan Yayasan Baitul Maal (YBM) BRI. Dalam tahap awal, YBM BRI memberikan dana sebesar Rp.30 juta untuk peternakan kambing. Diberikan kepada 10 orang jamaah. Masing-masing 3 juta rupiah untuk dibelikan 3 ekor kambing. Jamaah penerima bantuan tersebut direkomendasikan oleh pengurus masjid. Sehingga akurasinya terjamin dan tepat sasaran. YBM BRI membuat ketentuan bagi peternak kambing. Setelah kambing terjual, modal utama wajib dibelikan kambing lagi. Tidak boleh dihabiskan untuk kepentingan lain. Sedangkan keuntungan yang diperoleh peternak, tidak boleh diambil sendiri dan harus dibagi dengan prosentase 15 % diinfakkan untuk pengembangan usaha masjid, 15% untuk operasional masjid, 10% infaq pendidikan dhuafa di masjid, dan selebihnya, yaitu 60% adalah hak peternak kambing.
Ketiga, memanfaatkan sarana dan prasarana bangunan Masjid seperti halnya Masjid At-Tiin dengan membangun bagian yang dapat berfungsi sebagai fasilitas sosial. ruang khusus pertemuan, pesta perkawinan dan lain sebagainya dapat di siapkan untuk melayani warga. Dengan memberikan harga yang lebih baik dan sarana yang memuaskan kepada anggota masyarakat, seluruh kegiatan yang berada di masjid dapat menutupi biaya pengelolaannya, yang pada waktunya melalui yayasan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sekitar.
Keberhasilan penanganan program ini dapat membentuk masyarakat dalam menyelesaikan problematika ekonomi. Sehingga masyarakat dapat hidup sejahtera dan makmur. Pada gilirannya, Masjid dapat mengubah ‘identitas’ jamaah. Dari seorang Mustahiq, menjadi seorang Muzakki. Program yang disusun melalui pelibatan ini juga akan menghasilkan program kegiatan bersama. Sehingga ada rasa memiliki oleh semua pihak, dan muncul rasa bahwa semua diterima kehadirannya. Masjid bukan hanya menjadi sebuah basis yang eksklusif bagi satu golongan tetapi menjadi inklusif untuk semua umat. Pelibatan ini juga membuka peluang untuk bekerja sama dengan berbagai stakeholder yaitu masyarakat, remaja masjid, dan juga organisasi islam, termasuk pemerintah, swasta, dan media
Cita-cita besar ini merupakan suatu yang sangat historis dan sesuai dengan konteks agama ini. Karena masyarakat muslim tidak akan terbentuk secara kokoh dan rapih kecuali dengan adanya komitmen terhadap sistem, aqidah dan tatanan syariat islam.
Wallahu’alam




Politik dan Sejarah
M Anis Matta

 POLITIK bisa punya banyak makna dan kebanyakan dari pemaknaan itu bertalian dengan kekuasaan. Tidak salah, tetapi saya ingin membahas politik dari sudut pandang yang berbeda. Saya ingin memahami politik sebagai  ”industri” pemikiran.Sebagai bursa pemikiran, politik bertugas memberi arah bagi kehidupan masyarakat. Politik terancam gagal jika masyarakatnya mengalami rasa kehilangan arah yang dituju (sense of direction). Hilangnya sense of direction tersebut tampak dari suasana hati publik (public mood) yang diwarnai kemarahan dan kecemasan kolektif, menggantikan kepercayaan dan harapan kolektif mereka.
Agar dapat menjalankan tugas memberi arah itu, politik—dalam arti kehidupan politik secara keseluruhan—harus mampu memahami, merekam, dan menangkap perubahan fundamental yang terjadi di tengah masyarakat serta memberi arah yang benar bagi perubahan itu.
Jika kita melihat rentang sejarah, dinamika perubahan sosial merupakan interaksi empat elemen: manusia, ide, ruang, dan waktu. Manusia adalah pusat perubahan karena merupakan pelaku atau aktor di mana ruang dan waktu merupakan panggung pertunjukannya. Ide jadi penggerak manusia dalam seluruh ruang dan waktunya. Setiap kali ada perubahan yang penting dalam ide-ide manusia, kita akan menyaksikan perubahan besar dalam masyarakat mengikutinya.
Manusia bergerak dalam ruang dan waktu secara dialektis, antara tantangan dan respons terhadap tantangan tersebut. Ide atau gagasan yang memenuhi benak manusia merupakan manifestasi dari dinamika dialektis itu. Hidup manusia bergerak dan terus bertumbuh karena merespons tantangan di sekelilingnya. Hasil dari respons baru tersebut selanjutnya melahirkan tantangan-tantangan baru yang menuntut respons-respons baru. Begitu seterusnya.
  Dalam perspektif itulah, politik bertemu dengan sejarah. Sejarah adalah cerita tentang manusia di tengah seluruh ruangnya dalam rentang waktu yang panjang. Sejarah adalah cerita tentang tiga orang: orang yang sudah meninggal, orang yang masih hidup, dan orang yang akan lahir. Jika politik ingin memahami drama perubahan sosial secara komprehensif, politik harus memahami cerita tentang tiga orang itu. Politik menjadi dangkal jika ia hanya memahami cerita tentang satu orang, yaitu orang yang masih hidup. Itu adalah jebakan kekinian, di mana kita tampak seperti telah menyelesaikan masalah hari ini ketika sebenarnya yang kita lakukan justru memindahkan beban masalah itu kepada generasi yang akan lahir esok hari.
 Berpijak pada sejarahJika sejarah adalah cerita tentang hari kemarin, hari ini, dan hari esok, sejarah bukan saja metode untuk memahami masa lalu dan masa kini, melainkan juga menjadi jalan paling efektif menemukan alasan untuk tetap berharap bahwa esok hari cerita hidup kita akan lebih baik.
 Membaca sejarah adalah cara menemukan harapan. Harapanlah yang membuat kita rela dan berani melakukan kebajikan-kebajikan hari ini walaupun buah kebajikan itu akan dipetik mereka yang baru akan lahir esok hari. Tugas politik adalah memberi arah bagi kehidupan masyarakat agar mereka merasa memiliki satu arah yang dituju, memiliki orientasi. Rasa memiliki arah ini merupakan sumber kepercayaan diri dan harapan yang kuat bagi masa depan.
 Sebaliknya, chaos dan anomi membuat orang merasa tersesat dan limbung. Untuk dapat menemukan arah itulah, kehidupan politik harus berpijak pada sejarah. Berpijak pada sejarah tidak berarti melulu melihat ke belakang atau memuja kejayaan masa lalu; berpijak pada sejarah harus dimaknai sebagai keyakinan merancang masa depan.
 Muatan sejarah menghindarkan politik dari kedangkalan dan membawanya pada kedalaman kesadaran. Dengan memahami sejarah, politik akan bergeser dari pandangan sempit sekadar berebut kekuasaan menuju keluasan cakrawala pemikiran, dari sekadar perdebatan mengurusi kenegaraan menjadi perbincangan arsitektur peradaban.
 Pertanyaan yang segera menghadang kita adalah apa yang akan terjadi pada Pemilu 2014? Apakah pesta demokrasi tahun depan itu sekadar menjadi ajang peralihan kekuasaan secara damai, sesuatu yang business as usual di dalam demokrasi?
 Pemilu 2014 adalah momentum peralihan sejarah yang didorong oleh perubahan struktur demografis  Indonesia. Penduduk berusia 45 tahun ke bawah mencapai sekitar 60 persen dari populasi. Bukan sekadar mendominasi dari segi jumlah, kelompok ini bercirikan pendidikan yang tinggi, kesejahteraan yang membaik, dan terkoneksi dengan dunia luar melalui internet. Kita juga menyaksikan lahirnya native democracy, yaitu mereka yang sejak lahir hanya mengenal demokrasi. Pemilih pemula yang berusia 17 tahun pada 2014 adalah mereka yang lahir pada 1997. Mereka tidak merasakan perbedaan suasana otoriter pada masa Orde Baru dengan kebebasan pada masa kini. Bagi mereka, demokrasi dan kebebasan adalah sesuatu yang terberi (given) dan bukan hasil perjuangan berdarah-darah.
Mayoritas baru ini memerlukan jawaban baru dari partai politik. Ada hal-hal yang akan dianggap usang. Mereka ingin melihat visi dan agenda baru. Untuk menjawab tantangan itu, politik harus bisa mendefinisikan di mana kita berada sebagai sebuah bangsa dan sebuah entitas peradaban sekarang ini. Sejumlah gelombang sejarah telah kita lalui sebagai negara-bangsa dan banyak pelajaran penting yang dapat kita sarikan. Pertanyaan mendasar ini menghindarkan kita dari jebakan kedangkalan politik. Sejarah adalah  kompas bagi politik dalam mengarungi masa yang akan datang.