Harakatuna

Membangun Jama’ah

Membangun JamaahAllah swt. berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُم بُنيَانٌ مَّرْصُوصٌ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaff: 4)
Bangunan yang tersusun kokoh tentu tidak hanya terdiri dari satu komponen, tetapi terdiri dari beberapa kompenen yang saling kait mengkait dan serasi antara satu dengan lainnya.
Seseorang atau perusahaan yang akan membangun gedung, akan memulainya dengan mimpi, doa, membuat rencana, mencari bahan, kemudian mengumpulkan bahan yang dibutuhkan.
Bahan yang sudah terkumpul diseleksi sesuai kebutuhan bagian-bagian dari konstruksi bangunan. Pasir disaring, batu dibentuk dengan ukuran-ukuran tertentu, kayu yang kurang lurus, diluruskan terlebih dahulu, dan begitu seterusnya, agar bangunan kokoh dan rapih.
Bahan-bahan yang tidak terpakai untuk konstruksi inti, akan dimanfaatkan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya, seperti meratakan halaman, hiasan di luar, dan lain sebainya, sehingga tidak ada satu bahan bangunan pun yang terbuang percuma.
Sebuah Jamaah yang berjuang untuk mengembalikan manusia pada penghambaan kepada Allah swt. semata, mengembalikan kejayaan umat, menegakkan keadilan, mensejahterakan masyarakat, dan membuktikan bahwa Islam itu rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam), tentu tidak mungkin dibangun hanya dengan satu profesi, potensi, dan kemampuan. Sebab Islam yang diperjuangkan adalah “Sistem yang syamil (menyeluruh), mencakup seluruh aspek kehidupan. Maka ia adalah negara dan tanah air atau pemerintahan dan umat, moral dan kekuatan atau kasih sayang dan keadilan, wawasan dan undang-undang atau ilmu pengetahuan dan hukum, materi dan kekayaan alam atau penghasilan  dan  kekayaan,  serta jihad dan dakwah atau pasukan dan pemikiran. Sebagaimana juga ia adalah akidah yang murni dan ibadah yang benar, tidak kurang tidak lebih.”[1])
Jamaah membutuhkan ahli politik yang menangani masalah politik dan pemerintahan, dokter dan para medis yang menangani kesehatan, pakar ekonomi, ahli pendidikan, teknokrat, kiyai, dan keahlian lainnya. Namun untuk menghimpun mereka dalam sebuah jamaah, menyatukan mereka semua dalam satu visi dan misi, serta mengikat mereka dalam kerja sama yang rapih, tentu lebih serius dibanding membangun gedung.
Sebuah Jamaah yang solid dan produktif dibangun melalui proses yang panjang; dari mulai menjalin komunikasi dengan seluruh lapisan masyarakat, memilih anggota masyarakat yang siap menerima perubahan dan mengusung perubahan, mentarbiyah yang terpilih, dan begitu seterusnya hingga tergabung dalam jamaah yang solid dan produktif.
Apabila untuk membangun gedung yang kokoh dan indah dibutuhkan waktu yang relatif lama, padahal bahan-bahannya adalah benda yang tidak bergerak dan tidak mempunyai kehendak, maka apalagi membangun Jamaah yang solid dan produktif yang anggotanya adalah manusia. Di mana manusia mempunyai pikiran, keingingan, latar belakang, dan segudang karakteristik yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Proses pembentukan Jamaah yang solid dan produktif itu, bisa disebut dengan istilah tarbiyah atau pembinaan.
Dan, karena Jamaah yang berjuang untuk tegaknya agama Allah swt. itu, tidak dibatasi oleh waktu, maka pembinaan pun tidak berhenti. Sebab jika pembinaan berhenti, maka pertanda Jamaah itu pun akan berhenti.
Mushtafa Masyhur berkata, “Berbagai peristiwa dan perjalanan waktu menjadi saksi bahwa perhatian terhadap proses pembinaan menjadi penentu bagi kadar kemurnian, kesinambungan, dan perkembangan sebuah jamaah (pergerakan). Ia juga menjadi ukuran bagi sejauh mana keterpaduan di antara anggota-anggotanya, persatuan barisannya, kerjasamanya, kinerjanya, serta produktivitas dan efektivitas potensi yang dicurahkan, harta yang diinfakkan, dan waktu yang dihabiskan. Sebaliknya, bila aspek pembinaan ditelantarkan atau kurang mendapat perhatian, maka akan nampak kelemahan dan keguncangan dalam barisan, muncul benih-benih permusuhan dan perpecahan, kinerja semakin melemah dan produktivitas semakin menurun.”
Proses pembinaan sesuangguhnya hanya terdiri dari dua unsur utama, yaitu rekrutmen anggota pembinaan baru dari masyarakat, dan pemeliharaan serta peningkatan anggota yang telah terbina. Di mana dua unsur tersebut saling berkaitan dan satu mempengaruhi yang lainnya.
Rekrutmen berfungsi untuk menambah jumlah anggota yang akan menjadi bahan utama bangunan, sehingga bangunan semakin besar dan tinggi menjulang. Karena itu, apabila kegiatan rekrutmen mengalami kemandegan, maka pertumbuhan jamaah pun akan terhenti.
Kemenangan dakwah di setiap masa selalu ditandai dengan pertumbuhan kader berkualitas dalam jumlah yang mencukupi.
Pada musim Haji tahun ke-11 kenabian, 6 pemuda Yatsrib masuk Islam dan bertekad menyebarkan risalah Islam di Madinah. Mereka melakukan rekrutmen secara masif di derah asalnya. Hasilnya, pada tahun berikutnya, yaitu tahun ke-12 kenabian terjadi bai’atul Aqabah pertama yang diikuti oleh 12 orang Yatsrib yang telah masuk Islam, dan satu orang dari 6 orang yang pertama tidak ikut karena sakit. Berarti jumlah anggota jamaah di Yatsrib saat itu 13 orang dari asalnya 6 orang. Kalau dihitung dengan prosentase, pertumbuhan kader lebih dari 100%
Setelah itu Rasulullah saw. mengutus Mush’ab bin Umair ra. untuk membantu rekrutmen dan pembinaan kader di Yatsrib. Dan, dengan bantuan Mush’ab, kader-kader Yatsrib berhasil merekrut tokoh-tokoh Yatsrib, hingga tahun berikutnya, yaitu tahun ke-13 kenabian, terjadi Bai’atul Aqabah kedua yang diikuti oleh 73 orang dari penduduk Yatsrib. Dan, kader yang siap berangkat ke Makkah dengan resiko kematian, jika ketahuan kaum kafir Quraisy, tentu bukan kader pemula. Berarti pertumbuhan kader yang siap memikul amanah perjuangan saat itu lebih dari 600%.
Pertumbuhan tersebut terus berlangsung tanpa henti dan ditambah dengan proses hijrah nabawiyah, maka proses pertumbuhan semakin pesat dan tidak pernah mengalami stagnan, apalagi penurunan.
Tujuh tahun kemudian, yaitu ke-6 Hijriah, Rasulullah saw. memobilisasi para shahabat untuk Umrah, yang dikenal dengan Umrah Hudaibiyah. Yang berangkat bersama beliau saw. pada waktu itu sekitar 1500 kader. Meski akhirnya tidak jadi melaksanakan Umrah karena terjadi perjanjian Hudaibiyah.
Ketika suasana aman, tidak ada tekanan dan tidak ada pertempuran, maka rekrutmen kader semakin masif, hingga dua tahun berikutnya, yaitu tahun 8 Hijriah, Rasulullah saw. berangkat bersama sekitar 10.000 pasukan untuk membebaskan kota Makkah.
Pada saat kemenangan besar diraih oleh kaum muslimin, maka rekrutmen tidak lagi dilakukan secara personal, tetapi secara berkelompok, bahkan masyarakat secara berbondong-bondong bergabung dalam barisan dakwah. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah swt. dalam firman-Nya, “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.” (An-Nashr: 1-3)
Pertumbuhan itu terus berlangsung, hingga pada musim Haji Wada’, 10 Hijriah, peserta yang hadir saat itu sekitar 100.000 shahabat.
Di antara faktor suksesnya pertumbuhan itu adalah semangat masing-masing kader untuk melakukan rekruitmen dan pembinaan. Dan, semangat untuk merekrut dan membina pun selalu dihembuskan oleh Rasulullah saw. melalui janji-janji menarik, antara lain,
فَوَاللَّهِ لأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
“Maka demi Allah, sesungguhnya jika Allah memberi hidayah kepada seseorang dengan (perantaraan) kamu, maka itu lebih baik bagimu daripada kamu mempunyai unta merah (kendaraan termewah saat itu, pent.)” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah saw. bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa menunjukkan pada suatu kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti pahala yang melakukannya.” (HR. Muslim)
Memang tidak semua kader memiliki kemampuan rekrutmen dan pembinaan yang memadai. Oleh karena itu, apabila seorang kader memiliki berbagai keterbatasan (udzur syar’i), hingga tidak bisa merekrut atau membina, maka memfasilitasi kader lain agar dapat melakukan rekrutmen atau pembinaan, dengan cara memberikan kontribusi dana pada kader yang mempunyai kemampuan merekrut atau membina, tetapi tidak dapat optimal karena sarana, maka pahalanya sama dengan yang melakukan rekrutmen atau pembinaan secara langsung.
مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَجْرِ الْغَازِي شَيْئًا
“Siapa yang membekali pejuang di jalan Allah, maka ia mendapat pahala seperti pahala pejuang tersebut, tanpa mengurangi pahala pejuang itu sedikit pun.” (HR. Ibnu Majah)
Tentunya masih banyak dalil dari Al-Qur’an, Hadits, Sirah Nabawiyah, dan lain-lainnya tentang pentingnya rekruitmen dan pertumbuhan kader. Wallahu a’lam bishawab.

[1] Prinsip pertama dari 20 prinsip Ikhwanul Muslimin.


Kadang Kemenangan Datang Terlambat

Sayyid_QutbSayid Quthb*
Kadang-kadang kemenangan itu terlambat datangnya terhadap orang-orang yang dizalimi dan diusir dari negerinya tanpa dasar kebenaran selain mereka berkata “Tuhan kami adalah Allah”. Keterlambatan ini disebabkan oleh suatu hikmah yang diinginkan Allah…
Kadang-kadang terlambat datangnya kemenangan karena struktur umat Islam belum cukup matang, belum cukup sempurna, belum berhimpun semua kekuatannya, belum terorganisir baik dan bersatu seluruh jaringan, supaya diketahui seberapa puncak kekuatan amunisi dan kesiapan yang dimilikinya. Kalau ia mendapatkan kemenangan pada saat itu ia akan mudah rontok karena tidak mempunyai kemampuan menjaganya dalam waktu lama.
Kadang-kadang kemenangan terlambat datang hingga seluruh pejuang mencurahkan sagala kemampuan yang ia miliki, dan mengeluarkan apa saja yang ia punya. Maka tidak ada lagi yang tersisa dari barang yang mahal dan berharga kecuali sudah ia sumbangkan. Dia tidak hanya mencurahkan hal yang ringan lagi murahan di jalan Allah.
Kadang-kadang kemenangan itu terlambat datangnya supaya para pengusung kebenaran mencobakan seluruh kekuatan dan kemampuannya, hingga pada akhirnya ia sadar bahwa seluruh kekuatan itu tidak ada artinya tanpa sokongan dari Allah dan tidak akan mencukupi untuk memperoleh kemenangan. Kemenangan itu hanya akan turun bila seluruh kemampuan sudah dicurahkan kemudian menyerahkan hasilnya kepada Allah.
Kadang-kadang terlambat datangnya kemenangan supaya semakin bertambah kedekatan orang-orang beriman dengan Allah ketika mereka menanggung kesulitan, kepedihan dan pengorbanan. Saat itu mereka tidak menemukan sandaran selain Allah. Dan mereka tidak menghadapkan segalanya kecuali kepada Allah satu-satunya di dalam kesusahan itu. Hubungan ini menjadi jaminan keistiqamahan mereka nanti setelah Allah memberikan kemenangan. Hingga mereka tidak akan membangkang dan melenceng dari kebenaran, keadilan dan kebaikan di saat kejayaan menyapa mereka.
Kadang-kadang terlambat datangnya kemenangan karena umat yang beriman belumlah betul-betul melepaskan segalanya dalam berjuang dan mencurahkan apapun demi Allah dan demi dakwahnya. Ia berperang untuk mendapatkan harta rampasan perang, atau karena gengsi kehormatanya, atau supaya disebut pemberani di depan musuhnya. Allah menghendaki supaya jihad untuk-Nya satu-satunya. Bebas dari segala bentuk perasaan yang menyamarkannya.
Kadang-kadang terlambat datangnya kemenangan karena di dalam kejahatan yang ditentang oleh umat yang beriman masih terdapat sisa-sisa kebaikan. Allah menghendaki ia betul-betul bersih dari kejahatan supaya dia betul-betul murni. Dan kejahatan itu menyingkir dengan sendirinya dalam kondisi hancur. Tidak ada sedikitpun dari kebaikan yang ikut binasa bersamanya.
Kadang-kadang terlambat datangnya kemenangan karena kebatilan yang diperangi umat yang beriman belum tersingkap kepalsuannya dihadapan manusia dengan sempurna. Andaikan orang beriman mengalahkannya pada waktu itu, pasti akan ada pembantu dari orang-orang yang tertipu olehnya, yang belum yakin dengan kerusakanya dan belum yakin kalau dia mesti lenyap. Maka nanti ia akan tetap mengakar dalam jiwa-jiwa orang awam yang belum bisa menyingkap hakikat mereka. Sehingga Allah membiarkan kebatilan sampai betul-betul terbuka di depan manusia dan mereka tidak akan merasa kecewa dengan kehilangannya.
Kadang-kadang terlambat datangnya kemenangan karena lingkungan belum kondusif untuk menerima kebenaran, kebaikan dan keadilan yang diperankan umat yang beriman. Andai diberi kemenangan pada waktu itu pasti ia mendapatkan penentangan dari lingkungannya sendiri, dan ia tidak akan bisa tenteram bersamanya.
Senantiasa pertarungan berlanjut hingga jiwa-jiwa betul-betul siap untuk menerima kebenaran dan meyakini bahwa kebenaran itu mesti berjaya..
Karena semua ini, dan demi yang lainnya dari hal-hal yang hanya diketahui Allah, kadang-kadang terlambat datangnya kemenangan. Maka saat itu akan berlipat ganda jumlah pengorbanan, dan akan berlipat-lipat rasa pedih, pilu dan sakit, bersamaan dengan datangnya pembelaan Allah terhadap orang-orang beriman dan terwujudnya pertolongan bagi mereka pada akhirnya.
Allahumma ‘ajjil lana bin nashr.
Sumber: www.sinaimesir.net
*Alih bahasa: Ust. Zulfi Akmal, MA

Akhlak: Modal Sinergi Gerakan Islam

bersatuSinergi antar gerakan Islam akan mudah diwujudkan, jika masing-masing gerakan—kalangan elit maupun pengikutnya—memiliki modal akhlak yang sama, berdiri di atas landasan moral yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.
Paling tidak ada 6 modal akhlak yang menjadi syarat terwujudnya sinergi antar gerakan Islam. DR. Yusuf Qaradawi menjelaskan hal ini dalam Fiqhul Ikhtilaf, berikut ringkasannya:
Pertama, ikhlas karena Allah dan terbebas dari hawa nafsu. Menurut beliau, seringkali perselisihan antar kelompok atau pribadi nampak secara lahiriah sebagai perselisihan ilmiah atau mengenai masalah-masalah pemikiran semata-mata. Tetapi sesungguhnya perselisihan tersebut timbul karena faktor egoisme dan memperturutkan hawa nafsu yang dapat menyesatkan seseorang dari jalan Allah.
Seringkali perselisihan itu terjadi karena faktor-faktor pribadi dan popularitas, sekalipun dibalut dengan kepentingan Islam atau jama’ah dan lain sebagainya yang tidak diketahui bahkan oleh manusia itu sendiri.
Banyak perselisihan timbul hanya karena si Zaid menjadi pemimpin atau karena si Umar menjadi komandan, kemudian para pengikut masing-masing mengira sebagai perselisihan mengenai prinsip dan pemahaman. Padahal ia merupakan perselisihan memperebutkan kepemimpinan atau jabatan.
Tarbiyah Islamiah senantiasa menempa agar setiap mu’min menjadikan tujuannya hanyalah mencari ridha Allah, bukan ridha makhluk, kebahagiaan akhirat, bukan kemaslahatan duniawi. Mengutamakan apa yang ada di sisi Allah, bukan apa yang ada di sisi manusia.
“Apa yang di sisimu akan lenyap, sedangkan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Sesungguhnya kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl, 16: 96).
Kedua, meninggalkan fanatisme terhadap individu, madzhab dan golongan. Seseorang bisa berlaku ikhlas sepoenuhnya kepada Allah dan berpihak hanya kepada kebenaran jika ia dapat membebaskan dirinya dari fanatisme terhadap pendapat orang, madzhab, dan golongan.
Dengan kata lain, ia tidak mengikat dirinya kecuali dengan dalil. Jika dilihatnya ada dalil yang menguatkan maka ia segera mengikutinya, sekalipun bertentangan dengan madzhab yang dianutnya atau perkataan seorang Imam yang dikaguminya atau golongan yang diikutinya. Sebab, kebenaran lebih berhak untuk diikuti daripada pendapat si Zaid atau si Umar. Allah tidak memerintahkan kita beribadah mengikuti perkataan seorang ulama atau Imam tertentu, tetapi Allah memerintahkan kita agar beribadah sesuai dengan apa yang terdapat di dalam kitab-Nya dan sunnah Nabi-Nya.
Seseorang harus melepaskan dirinya dari fanatisme terhadap pendapatnya sendiri, mazhab, kelompok, atau partai. Al-Qur’an menceritakan beberapa contoh dari orang-orang fanatik ini sebagai kecaman terhadap mereka dan peringatan kepada kaum muslimin agar tidak mengikuti jejak langkah mereka.
Firman Allah tentang Bani Israil:
Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kepada Al Quran yang diturunkan Allah,” mereka berkata: “Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami”. Lalu  mereka kafir kepada Al Quran yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Quran itu adalah (Kitab) yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka. “ (QS. Al-Baqarah, 2: 91).
Firman Allah tentang orang-orang Musyrik:
Apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (QS. Al-Baqarah, 2: 170)
Diantara akhlak meninggalkan fanatisme terhadap individu, madzhab dan golongan ialah sikap melihat kepada perkataan bukan kepada orang yang mengatakannya. Hendaknya ia punya keberanian untuk mengkritik diri sendiri, mengakui kesalahan, menerima dengan lapang dada kritik orang lain. Ia tidak segan meminta nasehat dan evaluasi dari orang lain, memanfaatkan ilmu dan hikmah yang dimiliki orang lain, memuji orang yang tidak sependapat jika memang pendapatnya baik, dan membelanya apabila dia dituduh dengan tuduhan yang batil atau dilecehkan dengan tidak benar.
Ketiga, berprasangka baik kepada orang lain. Diantara akhlak dasar yang penting dalam pergaulan sesama aktivis Islam ialah berprasangka baik kepada orang lain dan mencopot kacamata hitam ketika melihat amal-amal dan sikap-sikap mereka. Akhlak dan pandangan seorang mu’min tidak boleh didasarkan pada prinsip memuji diri sendiri dan menyalahkan orang lain.
Allah melarang kita menganggap diri suci. Firman-Nya:
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. (QS. An-Najm, 53: 32)
Seorang mu’min—seperti dikatakan oleh para salaf—lebih keras mengadili diri sendiri ketimbang mengadili penguasa yang zalim atau teman yang bakhil. Ia senantiasa menuduh dirinya sendiri. Tidak memberikan toleransi kepada dirinya dan tidak mencari-cari dalih atas kesalahan-kesalahannya. Ia senantiasa dihantui rasa kurang melaksanakan perintah-perintah Allah dan menunaikan hak-hak hamba Allah.
Di samping itu ia senantiasa mencarikan alasan bagi kesalahan-kesalahan makhluk Allah, terutama para saudaranya dan orang-orang yang berjuang bersama-sama untuk membela agama Allah. Ia senantiasa mengatakan apa yang diucapkan oleh sebagian salaf yang shalih:“Aku mencarikan ‘udzur (alasan) bagi kesalahan saudaraku sampai tujuh puluh alas an, kenudian aku katakana lagi: barangkali dia punya alas an lain yang tidak aku ketahui”.
Diantara cabang iman yang terbesar ialah: Berprasangka baik kepada Allah dan manusia. Kebalikannya ialah: Berprasangka buruk kepada Allah dan hamba Allah.
Keempat, tidak menyakiti dan mencela. Diantara factor penyambung hubungan ialah sikap tidak menyakiti dan mencela orang yang berbeda pendapat serta meminta ma’af kepadanya sekalipun dia salah dalam anggapan Anda. Bisa jadi dia yang benar dan Anda yang salah, sebab dalam masalah ijtihad tidak ada kepastian tentang kebenaran salah satu dari kedua pendapat yang diperselisihkan. Dalam hal ini yang bisa dilakukan adalah tarjih. Sedangkan tarjih itu sendiri tidak berarti sebuah kepastian.
Orang yang keliru dalam masalah-masalah ijtihadiyah juga tidak boleh dicela sama sekali. Kesalahannya harus dimaafkan bahkan mungkin saja dia memperoleh pahala dari Allah sebagaimana ditegaskan dalam hadits Nabi.
Bagaimana mungkin kita mencela dan menyakiti orang yang melakukan ijtihad yang telah diberi pahala oleh Allah, sekalipun hanya satu pahala?
Demikianlah manhaj para salaf dalam berbeda pendapat menyangkut masalah ijtihadiyah. Mereka tidak saling mencela atau menyakiti, tetapi saling memuji, sekalipun tetap berbeda pendapat.
Kelima, menjauhi jidal dan permusuhan sengit. Di lapangan dakwah Islam kita saksikan adanya orang-orang yang tidak punya perhatian kecuali perbantahan dalam segala hal. Mereka tidak punya kesiapan untuk menarik pendapatnya sedikitpun. Mereka hanya menginginkan agar orang lain mengikuti pendapatnya. Mereka merasa selalu benar sedangkan orang lain senantiasa salah.
Diantara mereka ada yang mengecam fanatisme kepada madzhab tetapi mereka sendiri membuat madzhab baru dan menyerang orang lain yang tidak sepaham dan tidak mau mengikutinya.
Diantara mereka ada yang mengaharamkan taqlid tetapi mereka sendiri menuntut orang lain agar mengikutinya. Atau melarang taqlid kepada ulama terdahulu, sementara mereka sendiri bertaqlid kepada ulama sekarang.
Diantara mereka ada yang melakukan konfrontasi demi masalah-masalah furu’iyah (cabang) dan sektoral. Padahal para salaf sendiri pernah memperselisihkannya, tetapi tidak sampai menimbulkan keruhnya hubungan sesama saudaranya.
Rasulullah SAW mengecam keras perbantahan dan menganjurkan ummatnya agar menjauhinya. Dari Abu Umamah ra bahwa Nabi SAW bersabda:
“Aku menjamnin istana di pinggir sorga bagi orang yang meninggalkan perbantahan sekalipun dia benar…” (HR. Abu Dawud).
“Tidaklah sesat suatu kaum setelah mendapatkan petunjuk, kecuali karena mereka melakukan perbantahan.” (HR. Turmudzi)
Perbantahan dan perdebatan yang paling dibenci ialah perbantahan di sekitar Al-Qur’an yang sesungguhnya diturunkan Allah untuk member kata putus terhadap apa yang diperselisihkan oleh manusia. Jika Al-Qur’an dijadikan sumber perselisihan maka ukuran dan pedoman apa lagi yang akan dijadikan rujukan oleh manusia?
Ibnu Amer berkata: “Aku dan saudaraku pernah duduk dalam sebuah majelis yang lebih aku sukai daripada onta merah. Saat itu aku dan saudaraku datang. Namun ada beberapa orang sahabat Rasulullah SAW duduk di salah satu pintunya. Kami ntidak ingin memisahkan tempat duduk mereka, sehingga kami duduk terpisah di sudut. Tiba-tiba mereka menyebutkan satu ayat Al-Qur’an dan memperdebatkannya sehingga suara mereka semakin keras. Mendengar ini Rasulullah SAW langsung keluar dalam keadaan marah dan merah mukanya. Seraya menaburkan pasir kepada mereka, Rasulullah SAW bersabda:
“Dengan inilah ummat-ummat sebelum kalian binasa. Mereka menentang para Nabi mereka dan mempertentangkan sebagian isi Al-Kitab dengan sebagian yang lain. Sesungguhnya Al-Qur’an tidak diturunkan sebagiannya mendustakan sebagian yang lain. Tetapi justru sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Apa yang telah kamu ketahui darinya hendaklah kamu amalkan dan apayang belum kamu ketahui hendaklah kamu kembalikan (tanyakan) kepada orang yang mengetahuinya.” (Hadits nomor 6702 dari Al-Musnad [1/174-175]. Syakir berkata: sanadnya shahih).
Keenam, dialog dengan cara yang lebih baik.
Allah SWT berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl, 16: 125).
Dalam ayat ini terdapat perbedaan ungkapan antara apa yang dituntut dalam melakukan nasehat (mau’izhah) dan apa yang dituntut dalam melakukan bantahan (jidal). Dalam melakukan mau’izhah cukup dengan cara yang baik (hasanah), tetapi dalam melakukan jidaltidak dibenarkan kecuali dengan cara yang lebih baik (ahsan).
Ada dua cara dalam jidal. Pertama, ialah cara yang baik dan yang kedua cara yang lebih baik.Kita diperintahkan untuk mengikuti yang lebih baik.
Mau’izhah—biasanya—ditujukan kepada orang-orang yang menerima dan sudah komit dengan prinsip dan fikrah. Mereka tidak memerlukan kecuali nasehat yang meningatkan, memperlembut hati, menjernihkan kekeruhan dan memperkuat tekad mereka. Sedangkan jidal—biasanya—ditujukan kepada orang-orang yang menentang, yang seringkali membuat orang yang berselisih pendapat dengan mereka tidak sabar sehingga mengeluarkan ungkapan kasar dan sikap kaku. Maka dengan bijaksana Al-Qur’an memerintahkan kita agar mengambil cara yang lebih baik dalam berdialog dengan mereka, agar memberikan hasil yang baik. Diantara caranya ialah berdialog dengan memilih ungkapan-ungkapan yang lembut dan sejuk. Al-Qur’an dalam menghadapi orang-orang Yahudi dan Nasrani menggunakan ungkapan yang menyiratkan makna pendekatan antara mereka dan kaum muslimin. Seperti ungkapan ‘Ahlul Kitab’ atau orang-orang yang diberi Al-Kitab.
Bahkan kepada orang-orang musyrik penyembah berhala, Al-Qur’an tidak menggunakan ungkapan, “Wahai orang-orang musyrik”, tetapi memanggil mereka dengan, “Wahai manusia”. Di dalam Al-Qur’an tidak terdapat seruan kepada orang-orang musyrik dengan menggunakan ungkapan kemusyrikan atau kekafiran kecuali di dalam surat Al-Kafirun. Itu pun karena tujuan khusus yaitu memupus harapan kaum musyrikin dalam merayu kaum muslimin agar bersedia mengalah sedikit dalam masalah aqidah mereka, aqidah tauhid. Oleh sebab itu ayat tersebut mengulang-ulang masalah tauhid dengan beberapa ungkapan sebagai peneguhan. Sekalipun demikian surat tersebut diakhiri dengan sebuah ayat yang mencerminkan, puncak toleransi: “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”
Diantara cara dialog yang baik ialah menekankan pada ‘titik pertemuan’ dan ‘faktor kesepakatan’ antara Anda dan mitra dialog Anda. Cara ini adalah cara Qur’ani yang harus kita kenali dan terapkan. Perdebatan-perdebatan para Rasul dengan kaum mereka, sebagaimana diceritakan di dalam Al-Qur’an, memperjelas sikap ini. Sikap lembut, sopan, dan menggunakan ungkapan yang sejuk dalam dakwah dan dialog.

Insya Allah Partai Islam Selalu Menang!

Al-Intima
Ada kesadaran yang harus selalu tertanam di dalam dada para pejuang di Partai Islam, sebuah  hakikat yang akan menjadi ruh bagi perjuangan mereka sampai akhir hayat, yakni niat suci amar ma’ruf nahi munkar!
Dengan niat suci ini, mereka akan selalu menjadi pemenang. Apa pun yang terjadi. Menang atau kalah dalam pandangan manusia. Di mata Allah SWT, mereka akan selalu menjadi pemenang.
Selama mereka konsisten menjadi ummatun, sekelompok orang yang yad‘ūna ilal khairi, menyeru pada kebaikan, kemaslahatan dan kebajikan; danya’murūna bil ma‘rūfi menyuruh pada yang makruf, yakni keimanan dan ketakwaan; serta yanhauna ‘anil mungkar, mencegah dari yang mungkar; maka ulā-ika humul muflihūn, mereka itulah orang-orang yang menang, sukses, dan  selamat, di mata Allah SWT.Kemenangan yang dekat di dunia ini, itu pun dijanjikan oleh-Nya.
 “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Q.S. An-Nur: 55)
Selama para pejuang di Partai Islam itu beriman, beramal saleh, tetap menyembah Allah SWT dan tidak menyekutukan-Nya, mereka pasti akan dijadikan berkuasa, nilai-nilai ajaran Islam yang mereka perjuangkan akan menyebar mewarnai kehidupan, sehingga negeri menjadi aman, damai dan sejahtera.
Selama Partai Islam konsisten kepada niat suci amar ma’ruf nahi munkar dan ibadah, Allah SWT akan menjadikan mereka a’immah—pemimpin-pemimpin, yang memberikan solusi islami dan selalu mewujudkan kebaikan, kemaslahatan dan kebajikan kepada umat dan bangsa ini. Sebagaimana digambarkan Allah SWT,
 “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah.” (Q.S. Al-Anbiya: 73)
Oleh karena itu, terlepas dari benar tidaknya opini bahwa masa depan Partai Islam semakin suram; apakah opini itu merupakan konspirasi, operasi politik ‘musuh’, atau murni opini konstruktif media; Partai Islam harus menanggapi dan menghadapi itu semua dengan aksi-aksi positif. Tetap focus pada program ‘pemenangan’ yang telah direncanakan, terus menerus membangun kekuatan, tidak putus asa dan berhenti beramal, selalu bermuhasabah, terus menerus memperbaharui dan meluruskan niat suci amar ma’ruf nahi munkar.
Di atas itu semua, hendaklah mereka selalu bertawakkal kepada Allah SWT. Yakin dengan pertolongan Allah SWT.
Alangkah eloknya jika aktivis Partai Islam merenungkan nasehat seorang Da’i dari Mesir,  Syeikh Jum’ah Amin berikut ini.
“Jangan terlalu fokus dengan sebab-sebab materi untuk mencapai kemenangan, tapi kurang fokus pada رَبُّ الْاَسْبَاب “Rabbul asbaab” (Allah yang menjadi Pemilik dari sebab-sebab).
Jangan terlalu fokus dengan manajemen, idariyah, takhtith (perencanaan), tapi kurang fokus dalam hak-hak Allah. Takhtith dan manajemen baru efektif  kalau dilakukan oleh tangan yang berwudhu, kening yang banyak sujud, jiwa yang khusyu’, hati yang tenang dan tunduk pada Allah. Tanpa itu, sehebat-hebatnya manajemen dan takhtith yang dilakukan takkan memberi kemenangan.
Apa yang dianggap orang adalah nafilah (sunah), bagi antum bernilai faridhah (wajib). Dimana posisi antum dalam tilawah minimal 1 juz sehari? Dimana posisi antum dalam raka’at-raka’at saat malam? Dimana posisi antum dalam infak? Dimana posisi antum dalam raka’at dhuha?
Lawan politik uang yang biasa dijadikan senjata lawan-lawan politik antum dengan akhlak, dengan ukhuwwah, dan dengan ubudiyah…. Bukan dengan uang juga.
Senjata antum hanya dua: hubungan baik dengan Allah dan akhlak dengan manusia. Dengan itu, dua cinta berhimpun, cinta Allah dan cinta manusia. Ustadz al-Banna mengatakan: nahnu nuqaatil an naas bil hubb (Kita menaklukan manusia dengan cinta).”
Maka, Partai Islam harus mengutamakan bantuan kemenangan dari Allah, dengan petunjuk Rasulullah, dan dukungan sebesar-besarnya dari orang-orang yang beriman.
 “Dan barangsiapa mengambil Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya Hizbullah (Partai Allah, pengikut agama Allah) itulah yang pasti menang.” (Q.S. Al-Maidah: 56)

Ghibah di Jalan Dakwah?

twitter_facebook1Hari ini, nampaknya tidak ada seorang pun dari masyarakat kota yang tidak kenal Facebook atau Twitter. Situs jejaring sosial tersebut begitu digemari masyarakat karena dapat membantu memperluas pertemanan, membuat komunitas, menemukan teman lama, silaturahim, berbisnis, kampanye politik, menggalang aktivitas sosial, berdakwah, dan bahkan cari jodoh.
Namun disamping membawa dampak positif, situs jejaring sosial juga ternyata membawa dampak negatif. Misalnya seorang social networker kerap menghabiskan waktunya untuk memantau status atau komentar, kinerja perusahaan terganggu karena karyawan rajin surfing, waktu belajar para pelajar habis untuk ngoprek Facebook atau Twitter, berkurangnya kebiasaan silaturahim antara kerabat ataupun sahabat, dan salah satu hal yang paling berbahaya dari sudut pandang agama adalah semakin merebaknya ‘budaya’ ghibah atau bergunjing antar sesama. Di situs pertemanan ini juga kerap mengemuka fenomena saling fitnah, saling menjatuhkan, saling tuduh, debat kusir, dan namimah atau penyebaran kabar burung yang menimbulkan permusuhan satu sama lain.
Dengan demikian kita harus waspada, kemajuan teknologi komunikasi ternyata dapat menimbulkan pergeseran nilai. Ghibah, saling fitnah, saling menjatuhkan, saling tuduh, debat kusir, dan namimah dianggap sebagai perkara ringan.
Ghibah adalah dosa besar!
Allah SWT berfirman,
Dan janganlah sebagian kamu bergunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. Al-Hujurat, 49: 12).
Apakah ghibah  atau bergunjing itu? Untuk memahaminya cukuplah bagi kita membaca hadits dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya,
يَا رَسُلُ اللهُ! مَاالْغِيْبَةُ؟ قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ اِغْتَبْتَهُ, وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ. (رواه مسلم وأبو داود والترمذي)
“’Wahai Rasulullah, apakah ghibah itu?’ Beliau menjawab, ‘Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukainya’. Beliau ditanya lagi, ‘Bagaimana pendapat engkau jika pada diri saudaraku itu ada sesuatu yang aku katakan?’ Beliau menjawab, ‘Jika pada dirinya ada sesuatu yang engkau katakan, berarti engkau telah mengghibahnya, dan jika pada dirinya tidak ada sesuatu yang engkau katakan, berarti engkau telah mendustakannya’.”(HR. Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzy).
“Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukainya”, inilah kaidah yang diajarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam agar kita mengetahui batasan ghibah. Kaidah ini harus dipegang teguh oleh setiap muslim yang hendak membicarakan saudara-saudaranya sesama muslim, meskipun apa yang dibicarakan itu memang benar-benar ada pada diri saudaranya terkait dengan cacat tubuh, budi pekerti, harta, anak, istri, saudaranya, atau apa pun yang ada hubungannya dengan dirinya.
Hasan, cucu Nabi, berkata bahwa bergunjing itu ada tiga macam, ketiganya disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu ghibah, ifki, dan buhtan. Ghibah atau bergunjing, yaitu menyebut-nyebut keburukan yang ada pada orang lain. Adapun ifki adalah menyebut-nyebut seseorang mengenai berita-berita yang sampai kepada kita, dan buhtan atau tuduhan yang palsu ialah bahwa menyebut-nyebut kejelekan seseorang yang tidak ada padanya. Adnan Ath-Tharsyah menyebutkan dalam bukunya  ‘Majalisuna Ila Aina?’ bahwa tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama bahwa bergunjing ini termasuk dosa besar, dan diwajibkan kepada orang yang bergunjing supaya segera bertobat kepada Allah dan meminta maaf kepada orang yang bersangkutan.
Mu’awiyah bin Qurrah berkata kepada Syu’bah, “Jika seandainya ada orang yang putus tangannya lewat di hadapanmu, kemudian kamu berkata ‘Itu si buntung,’ maka ucapan itu termasuk bergunjing.”
Dalam Al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 12, Allah Ta’ala mengemukakan sebuah perumpamaan supaya terhindar dari bergunjing, yaitu dengan suatu peringatan yang berbentuk pertanyaan, “Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?” Oleh karena itu janganlah menyebut-nyebut keburukan seseorang ketika ia masih hidup atau sudah mati. Tahanlah lidah kita. Kalaupun terpaksa harus membicarakan orang lain, maka berbicaralah yang baik-baik saja
Diriwayatkan Ibnu Mundzir dari Ibnu Juraij bahwa Al-Hujurat ayat 12 ini turun berkaitan dengan Salman Al-Farisi yang makan, kemudian tidur, lalu mendengkur. Orang-orang membicarakannya. Maka turunlah surah ini yang melarang umat Islam bergunjing dan mengumpat.
Ghibah tidak hanya terbatas pada perkataan saja, tetapi juga mencakup segala sesuatu yang menjelaskan kekurangan saudaramu kepada orang lain. An-Nawawy berkata, “Ghibah itu mencakup ucapan dan tulisan, atau simbol dan isyarat dengan mata, tangan maupun kepala. Tepatnya, ghibah adalah segala sesuatu yang menjelaskan kepada orang lain tentang kekurangan saudaramu sesama muslim.” Yang juga termasuk ghibah adalah mendengarkan apa yang disampaikan orang lain dengan menampakkan keta’ajuban.
Salah satu faktor mengapa  ghibah ini demikian dicela oleh Islam ialah karena  potensinya yang sangat dahsyat untuk menghancurkan reputasi dan kehormatan seseorang. Terlebih lagi jika ia mewabah di tengah masyarakat yang sakit, yakni masyarakat yang sangat jeli melihat kesalahan orang lain, tapi tidak pernah berkaca melihat kesalahan pribadi; sangat garang dan sengit menghakimi kesalahan orang lain, tapi begitu ‘bijak’ memaafkan kesalahan diri sendiri.
Pergunjingan pada kenyataannya lebih sering berproses menjadi ifki dan buhtan. Berawal dari tersebarnya berita pada beberapa orang, kemudian terjadi bias informasi, dan pada akhirnya tereksposlah berita yang telah terdistorsi secara massal. Dengan begitu berkembanglah kebencian dan munculnya kekacauan di tengah-tengah masyarakat.
“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS. An-Nur, 24: 15)
Sebab-sebab Bangkitnya Syahwat Berghibah
Sebab-sebab yang membangkitkan ghibah secara umum menurut Adnan Ath-Tharsyah adalah mencari kepuasan, kedengkian, marah, iri, olok-olok, ejekan dan lain-lainnya. Imam Al-Ghazaly menyebutkan sebelas sebab dan merincinya dalam Ihya Ulumuddin. Sebagian diantaranya yang menyebabkan manusia secara umum melakukan ghibah adalah:
Pertama: Mencari muka di hadapan teman-teman, menjaga persahabatan, dan membantunya dalam perkataan. Jika teman-temannya menodai kehormatan seseorang, lalu dia tidak ikut-ikutan dan menjauhi mereka, maka dia merasa sungkan dan berat. Sehingga mau tidak mau dia harus ikut-ikutan. Jika teman-temannya marah kepada seseorang, maka dia juga harus marah kepadanya sebagai rasa solidaritas, sehingga dia harus ikut menyingkap keburukan dan aib orang lain.
Kedua: Karena hendak membanggakan diri. Maksudnya dia mengangkat kedudukannya dengan mengurangi kedudukan orang lain, misalnya dengan mengucapkan: “Fulan bodoh, pemahamannya dangkal dan ucapannya tidak kuat.” Tujuannya agar ucapannya itu bisa menonjolkan kelebihan dirinya dan dia tampak lebih pandai.
Ketiga: Untuk main-main, bersenda gurau dan lawakan. Dia menyebutkan aib orang lain agar orang-orang tertawa saat mendengarnya.
Keempat: Mengejek dan mengolok-olok, sebagai penghinaan terhadap orang yang disebut-sebut. Pendorongnya yang utama adalah untuk merendahkan orang lain.
Selain itu, ‘orang-orang khusus’, seperti: aktivis dakwah, mubaligh, ustadz, dan bahkan para ulama, kadangkala terjebak pula melakukan ghibah atau pergunjingan. Penyebabnya adalah:
Pertama: Munculnya keheranan dalam mengingkari yang mungkar dan kesalahan dalam agama. Misalnya ucapan seorang da’i: “Aku heran terhadap Fulan!” Boleh jadi apa yang disebutkan ini memang benar-benar terjadi pada diri orang yang dibicarakan. Tapi seharusnya, dia tidak perlu menyebutkan nama orangnya. Sebab setan sangat mudah mempengaruhinya, sehingga lama-kelamaan dia bisa mengghibahnya dan tanpa terasa akhirnya dia pun berdosa.
Kedua: Merasa kasihan. Misalnya seorang da’i merasa kasihan terhadap musibah yang menimpa seseorang seraya berkata, “Sungguh kasihan Fulan itu. Musibah yang menimpanya telah menyentuh perasaan saya.” Tapi berikutnya setan menyeretnya kepada keburukan sehingga menjadi ghibah.
Ketiga: Marah karena Allah. Kadang-kadang seorang da’i merasa marah menghadapi kemungkaran yang dilakukan manusia, lalu dia menyebut nama pelakunya itu. Hal ini tidak diperbolehkan. Seharusnya tidak perlu menyebutkan nama pelakunya.
Ghibah yang diperbolehkan
Segolongan ulama mengecualikan beberapa kondisi sehingga diperbolehkannya ghibah. An-Nawawy, misalnya, mengemukakan ada enam sebab diperbolehkannya ghibah, yaitu:
Pertama: Pengaduan. Seseorang yang dizalimi bisa mengadu kepada penguasa atau hakim atau seseorang yang memegang kekuasaan untuk berbuat adil terhadap orang yang menzaliminya. Dia bisa berkata, “Fulan menzalimiku begini dan begini.”
Kedua: Sebagai sarana untuk merubah kemungkaran dan mempengaruhi orang yang durhaka agar menjadi benar. Seseorang bisa berkata kepada orang yang bisa mengenyahkan kemungkaran: “Fulan berbuat begini dan begitu.” Maksudnya laporan itu sebagai upaya untuk menghentikan kemungkaran pelakunya. Tetapi jika niatnya bukan untuk itu, maka perbuatannya adalah haram.
Ketiga: Untuk meminta fatwa. Misalnya ucapan seseorang: “Ayahku, saudaraku, suamiku, atau Fulan telah menzalimi aku. Apakah dia boleh berbuat begitu? Apa caraku untuk menghindarinya? Bagaimana agar bisa kudapatkan hakku dan sekaligus mencegah kezalimannya?”
Perkataan seperti ini diperbolehkan kalau memang dibutuhkan. Tetapi yang lebih baik ialah dengan berkata: “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berbuat begini dan begitu kepadaku?” Yaitu tanpa menyebutkan nama orang yang bersangkutan. Tapi menyebutkan nama orang yang bersangkutan tetap diperbolehkan.
Hal ini didasarkan kepada riwayat Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan pernah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir. Dia tidak memberiku belanja yang mencukupi kebutuhanku dan kebutuhan anakku, kecuali harus mengambil harta darinya, sementara dia tidak mengetahuinya.”
Beliau berkata, “Ambilah yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan kebutuhan anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (Muttafaq Alaihi).
Keempat: Untuk memperingatkan orang-orang muslim dan menasehati mereka. Misalnya jika seseorang melihat orang lain yang sedang belajar, akan condong kepada ahli bid’ah, atau hendak mendatangi orang fasik yang akan dijadikan guru, sehingga orang yang akan belajar itu dikhawatirkan akan mendapat kemudharatan bagi agamanya. Dalam keadaan seperti ini dia bisa memberitahukan keadaan orang yang hendak didatangi tersebut.
Tapi sebelum melakukannya, dia perlu mendalami terlebih dahulu dengan hati-hati, apakah orang yang akan didatangi tersebut memang benar-benar ahli bid’ah? Apakah memang yang dilakukannya itu sebuah kemungkaran? Atau hanya ikhtilaf atau perbedaan ijtihad yang syar’i? Atau masih banyaknya hal-hal samar? Jika keadaannya belum jelas benar, hendaknya dia berhati-hati dan tidak terburu-buru menyebutkan berbagai hal tentang orang itu, karena tidak jarang tindakan memperingatkan orang ternyata dilatarbelakangi kedengkian.
Kelima: Memberitahukan keburukan seseorang yang jelas kefasikan atau perbuatan bid’ahnya, seperti orang yang terang-terangan meminum khamr, menghalang-halangi manusia dari Islam, mengambil harta secara zalim, dan melakukan hal-hal yang batil.
Keenam: Untuk pengenalan. Misalnya penyebutan Si Buta, Si Pincang, Si Tuli, dan lain-lain, yang tidak dimaksudkan untuk mengolok-olok atau memperlihatkan kekurangan.
Meskipun begitu, Asy-Syaukany telah mengomentari pendapat An-Nawawy tersebut, bahwa sebagian di antara contoh-contoh ini tidak bisa dijadikan pengecualian pengharaman ghibahdan beliau tetap menganggapnya sebagai ghibah.
Bagaimana Menghindari Ghibah?
Agar terhindar dari ghibah, kita harus menyadari bahwa perbuatan bergunjing itu membangkitkan kemarahan Allah Ta’ala.
Kita pun harus selalu mengaca kepada diri sendiri yang mungkin banyak memiliki kekurangan, maka hendaknya kita sibuk mengurusi kekurangan tersebut. Hendaknya kita malu jika tidak mau mencela diri sendiri, dan justru mencela orang lain. Jika kita tidak mendapati cela pada diri sendiri, maka hendaklah dia bersyukur kepada Allah dan tidak menodainya dengan aib yang lebih besar.
Kita harus tahu, sebagaimana kita, orang lain pun akan tersiksa dan terganggu oleh ghibah. Jika kita tidak rela tersiksa dan terganggu karena ghibah orang lain, maka orang lain pun tidak rela jika kita mengghibahnya.
Hendaklah kita melihat latar belakang melakukan ghibah. Jika sebabnya marah, maka hendaklah kita mengobatinya dengan berkata: “Jika aku terus mengikuti rasa marahku, boleh jadi Allah juga terus marah kepadaku karena ghibah. Jika aku menghentikan marahku, maka aku tidak akan mendapatkan ancaman-Nya.”
Jika tujuan ghibah yang kita lakukan untuk menonjolkan dan mengangkat diri sendiri, dengan cara mencela orang lain, maka kita harus tahu bahwa perbuatan itu akan melenyapkan keutamaan kita di sisi Allah. Bahkan di mata manusia, keutamaan kita sedang berada di pinggir jurang, atau boleh jadi kepercayaan mereka terhadap kita akan menyusut jika mereka tahu tujuan ghibah kita. Kalau pun kita bisa mendapatkan kepercayaan manusia karena perbuatan kita itu, toh mereka tidak akan berguna sedikit pun di hadapan Allah.
Sedangkan ghibah karena iri dan dengki, berarti menghimpun dua siksaan. Di dunia tersiksa oleh bara kedengkian dan di akhirat tersiksa api neraka.
Tebusan Ghibah
Sebagian ulama berpendapat, orang yang mengghibah harus menyesali perbuatannya dan bertaubat, agar dia keluar dari hak Allah, kemudian membayar denda, agar dia bebas dari kezalimannya.
Menurut Al-Hasan, pelaku ghibah cukup memohon ampun tanpa harus membayar denda.
Menurut Mujahid, denda atas tindakan ‘memakan daging saudaranya’ ialah memujinya dan berdo’a bagi dirinya.
Atha bin Abu Rabbah pernah ditanya tentang taubat ghibah, dia menjawab, “Dia harus menemui saudaranya yang dighibah seraya berkata, ‘Aku telah berkata dusta tentang dirimu dan menzalimi dirimu. Jika engkau mau, maka engkau bisa berbuat menurut hakmu, dan jika engkau mau, maka engkau bisa memaafkan aku’.”
Mari kita renungkan hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari Abu Hurairah berikut ini.
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَذْلُمَةٌ لِاَخِيْهِ مِنْ عِرْضِهِ اَوْ مِنْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ اْليَوْمَ قَبْلَ اَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَامٌ, اِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَلِحٌ اُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَذْلُمَتِهِ وَ اِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ اُخِذَ مِنْ سَيِّأَتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ. (رواه البخارى).
“Barangsiapa yang pernah menganiaya saudaranya baik yang berhubungan dengan kehormatan diri maupun sesuatu yang berhubungan dengan yang lain, maka hendaklah ia minta dihalalkan (minta maaf) sekarang juga sebelum datangnya saat dimana dinar dan dirham tidak berguna, dimana bila ia mempunyai amal salih maka amal itu akan diambil sesuai dengan kadar penganiayaannya, dan bila ia tidak mempunyai kebaikan maka kejahatan orang yang dianiaya itu diambilnya dan dibebankan kepadanya”. (HR. Bukhari).
Majelis Amar Ma’ruf Nahi Munkar atau Majelis Ghibah?
Diantara bentuk perbuatan yang harus selalu diwaspadai oleh setiap muslim khususnya para da’i adalah berkumpulnya mereka dalam ‘majelis amar ma’ruf nahi munkar’, namun sebenarnya ia adalah ‘majelis ghibah’. Bagaimana tidak disebut demikian, jika setiap kali berkumpul di majelis itu, selalu saja disediakan santapan berupa daging saudaranya sesama muslim, minumannya adalah kehormatannya, buah-buah hidangannya adalah aib-aibnya, dan manisannya adalah kekurangan-kekurangannya. Majelis itu hanya diisi dengan serangan terhadap kehornatan orang-orang muslim dan mencari-cari kekurangan mereka. Semua itu kemudian dianggapnya sebagai ‘amar ma’ruf nahi munkar’.
Al-Ghazaly berkata, “Persoalan ghibah merupakan sesuatu yang paling rumit dan tersamar, karena ia merupakan kejahatan yang disembunyikan setan dalam selimut kebaikan. Memang disitu ada kebaikan, kemudian setan memupuknya dengan kejahatan.”
Prosedur amar ma’ruf nahi munkar itu sangat jelas, seperti disabdakan oleh Nabi shalallahu ‘alihi wa sallam:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرهُ بِيَدِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ, وَ ذَلِكَ اَضْعَفُ الاِيْمَانِ (رواه مسلم).
“Barang siapa di antara kamu melihat kemunkaran maka ubahlah ia dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika ia tidak mampu maka ubahlah dengan hati, dan yang demikian itu selemah-lemah iman” (HR. Muslim).
Dari hadits di atas kita mengetahui bahwa jika seorang mukmin melihat kemungkaran, yang harus dilakukannya adalah merubah dengan tangan atau kekuasaannya. Namun jika tidak mampu, ia harus menghadapinya dengan menggunakan lisan, yakni mendatangi orang yang berbuat munkar, berhadapan langsung dengannya untuk memberikan nasehat. Tetapi kalau cara ini tidak memungkinkan, maka berikutnya yang harus dilakukan adalah mengingkarinya dengan hati.
Marah karena Allah tidak mengharuskan seseorang menyebutkan nama pelaku kemungkaran atau menunjuknya secara langsung. Apalagi menyebutnya di tengah-tengah majelis dimana disana berkumpul orang-orang dengan beragam niatnya. Ada orang yang datang hanya untuk mengisi kekosongan waktu dengan sedikit kesenangan dan obrolan yang sejalan dengan tuntunan hawa nafsunya, dan ada pula orang-orang yang sengaja datang untuk mendengar informasi ghibah.
Pada diri Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam terdapat teladan yang baik. Beliau tidak pernah menunjuk secara langsung. Jika beliau tidak menyukai sesuatu pada diri seseorang, maka beliau bertanya, “Bagaimana kedaan segolongan orang yang begini dan begitu, atau berbuat begini dan begitu?” atau pertanyaan lain yang serupa dengan ini.
Dari Aisyah radhiyallahu anha, dia berkata, “Jika Nabi shalallahu alaihi wa sallam mendengar sesuatu pada diri seseorang, maka beliau tidak bertanya, “Ada apa Fulan berkata begitu?” Tetapi beliau bertanya, “Ada apa segolongan orang berkata begini dan begini?”
Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Muslim itu saudara muslim lainnya, tidak menzaliminya, tidak menelantarkannya, dan tidak merendahkannya.” (HR. Muslim).
Menurut An-Nawawy, perkataan Nabi: “Tidak menelantarkannya”, maksudnya tatkala melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, atau tatkala menuntutnya suatu hak tertentu. Seharusnya dia menolongnya, membantunya dan menjaganya sekuat tenaga. Perkataan beliau: “Tidak merendahkannya”, artinya dia tidak boleh menganggap dirinya lebih baik daripada yang lain, tetapi dia harus menganggap bahwa orang lain lebih baik darinya, atau tidak menganggap apa pun. Sebab apa yang terjadi kemudian masih tersamar dan seseorang tidak tahu bagaimana kesudahannya.
Seorang muslim yang baik harus marah karena Allah kepada teman-temannya yang menyebutkan keburukan seseorang. Sebab mereka telah mendurhakai Rabb mereka dengan dosa yang amat keji, yaitu ghibah. Membenarkan ghibah sama dengan ghibah itu sendiri. Orang yang mendengarkan ghibah merupakan sekutu orang yang mengghibah, kecuali jika dia mengingkari atau membela kehormatan saudaranya.
Dari Utbah bin Malik radhiyallahu anhu, dia berkata, “Ada beberapa orang di antara mereka berkata, ‘Mana Malik bin Ad-Dukhaisyin?” Maksudnya anak Dahsyam.
Lalu sebagian menanggapi, “Itulah orang munafik yang tidak mencintai Allah dan Rasul-Nya.”
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam berkata, “Janganlah kamu berkata begitu! Tidakkah kamu tahu bahwa dia telah mengucapkan: ‘Tiada Ilah selain Allah’, dan dia menghendaki keridhaan Allah?”
Utban berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Sesungguhnya kami juga tahu nasihat yang diberikannya kepada orang-orang munafik.”
Beliau shalallahu alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan api neraka terhadap orang yang berkata: ‘La ilaha illallah’, yang dengan ucapan ini dia mencari keridhaan Allah.”
Begitulah tindakan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam yang membela kehormatan orang yang tidak ada di sisinya dan beliau tidak suka jika orang ini dighibah atau disebut-sebut keburukannya di majelis beliau.
Bahaya Ghibah Bagi Gerakan Dakwah
Ghibah sangat berbahaya bagi gerakan dakwah. Karena salah satu faktor yang dapat merusak barisan, mengurai ikatan, dan mengguncang bangunan dakwah menurut Ustadz Fathi Yakan, adalah lahirnya perilaku suka bergunjing, mengadu domba, mengintai aib orang lain, banyak bicara, dan tersebarnya itu semua tanpa kendali dengan alasan memperbaiki keadaan melalui amar makruf nahi munkar.
Penyakit yang berbahaya ini, lanjut beliau, sayangnya telah mewarnai gerakan Islam diseluruh wilayah Islam, baik di lingkup lokal, regional, maupun negara. Hasilnya adalah: rasa rendah diri, goncangnya barisan, tiadanya tsiqah, serta tersingkapnya kelemahan harakah di hadapan musuh.
Membudayanya sikap suka bicara dan menceritakan apa yang didengar tanpa seleksi dapat menyebabkan gerakan Islam hancur. Bermula dari mencela qiyadah lalu meragukan konsep, akhirnya hancurlah bangunan harakah sama sekali.
Ustadz Fathi Yakan menegaskan nasehatnya kepada para pengemban dakwah yang berperilaku seperti itu untuk takut kepada Allah dari menodai kehormatan saudara-saudaranya. Jangan sampai mereka melukai saudara-saudaranya itu seperti seorang dokter memotong-motong jenazah, atau seperti tukang jagal memotong hewan, tanpa menjaga ucapan dan etika perbedaan antar sesama, obyektifitas dalam mengeritik, serta memperhatikan pilihan kata yang tepat ketika melemparkan pembicaraannya.
Hendaknya mereka memperhatikan firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab, 33: 70-71).
Mereka pun hendaknya merenungkan hadits berikut,
عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ حَدِّثْنِي بِأَمْرٍ أَعْتَصِمُ بِهِ، قَالَ:  قُلْ رَبِّىَ اللهُ ثُمَّ اسْتَقِمْ، قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا اَخْوَفُ مَا تَخَافُ عَلَيَّ؟ فَأَخَذَ بِلِسَانِ نَفْسِهِ ثُمَّ قَالَ: هذَا.
Dari Sufyan bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, katakan kepadaku sesuatu yang bisa kujadikan pegangan.’ Beliau menjawab, ‘Katakan bahwa Tuhanku adalah Allah lalu istiqamahlah.’ Saya bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apa yang paling Anda khawatirkan atas diriku?’ Rasulullah menunjuk mulutnya sendiri dan berkata, ‘Ini’” (HR. Tirmidzi).
Kemudian hendaknya mereka mengindahkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
وَ إِنَّ اَحَدَ كُمْ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ فَيَكْتُبُ اللهُ عَلَيْهِ بِهَا سَخَطَهُ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ.
“Sungguh salah seorang di antara kalian berbicara dengan kata-kata yang membuat murka Allah tanpa dipertimbangkan akibatnya, maka Allah menetapkan dengan ucapannya itu murka-Nya hingga hari kiamat” (HR. Tirmidzi).
Jadi, virus ghibah ini harus kita berantas, dan kita hambat pertumbuhannya. Terutama di lingkungan pergerakan dakwah. Karena bagaimana kita akan mengobati penyakit-penyakit umat, jika para aktivis, da’i, ustadz dan ulamanya tidak mengobati penyakit-penyakitnya sendiri?
Wallahu a’lam…
 Daftar Pustaka
Majalisuna Ila Aina?, Adnan Ath-Tharsyah, Pustaka Al-Kautsar Jakarta Timur
Qabasun Min Nuri Muhammad, DR. Faiz Almath, Gema Insani Press, Jakarta
Al-Qur’anul Karim Wa Tafsiruhu Jilid IX, Kementerian Agama RI
Miracle The Reference Syamil Qur’an, Sygma Publishing, Bandung
Riyadlus Shalihin, Imam An-Nawawy, CV. Toha Putra, Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar